Jumat, 23 November 2007

Untuk Apa Kongres Cerpen bagi Riau

Esai Sastra
Untuk Apa Kongres Cerpen bagi Riau?

Oleh Marhalim Zaini

Di ujung tahun 2004 yang lalu, Yayasan Sagang menerbitkan sebuah buku setebal 482 halaman, yang menghimpun 61 cerpen dari penulis Riau. Buku yang diberi judul Satu Abad Cerpen Riau ini (secara implisit) didedikasikan secara khusus bagi Soeman HS, seorang pendiri tonggak terpenting dalam sejarah penulisan cerpen di negeri ini (meski cukup disayangkan dalam Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, nama Soeman HS terlupakan). Padahal lewat sejumlah cerita-cerita pendeknya yang bergaya humor, bersama M. Kasim (di awal tahun 1910-an), cerpen mulai dikenal di Indonesia. Banyak pakar berkeyakinan (termasuk Taufik Ismail dan Hasan Junus) –dan tentu tak terlampau berlebihan—jika Soeman HS dan M. Kasim disebut sebagai pemula (lahirnya bentuk penulisan) cerpen di Indonesia.
Sebuah hasrat tersirat yang dapat ditangkap dari terbitnya buku ini adalah, upaya penegasan sejarah, tentang sebuah perjalanan panjang tradisi penulisan cerpen di Riau. Sosok Soeman HS (kelahiran Bengkalis, tahun 1904) diletakkan pada titik awal penelusuran, dan kemudian menarik garis ke tahun 2004. Satu abad, tentu bukan waktu yang ‘ringan’ untuk menimbang sebuah jejak perjalanan. Ini kerja berat, dan melelahkan. Maka, meski telah tersaring sebanyak 61 penulis cerpen, masih saja ada yang tercecer. Namun begitu, isi buku ini cukup memberi lanskap yang transparan (meski belum cukup representatif) tentang ekspresi linguistik para penulis cerpen (di) Riau.
Lalu, sekitar setahun setelah buku itu terbit, kini di Riau digelar pula Kongres Cerpen Indonesia IV (Hotel Nuansa, 26 sampai 30 November 2005), setelah sebelumnya digelar di Yogyakarta, Bali, dan terakhir di Lampung. Kenapa harus Riau? Agaknya, kita bisa saja secara spontan, dan serempak, menjawab dengan lugas, bahwa secara historis, dan juga secara ekonomis, selain visi 2020, Riau memang ‘layak’ jadi tuan rumah. Lalu, kenapa harus cerpen? Kita sepakat, bahwa sejak berkembangnya teknologi di Indonesia, dengan bermunculannya beragam jenis media massa, boleh dikata cerpen selalu mendapat tempat. Tak hanya di ruang-ruang khusus kebudayaan, bahkan di majalah-majalah hiburan, majalah keluarga, remaja (dsb). Kenyataan inilah agaknya, yang membuat Sapardi Djoko Damono risau dan melemparkan pertanyaan dalam sebuah judul esainya, “Dapatkah Kita Menghindarkan Diri dari Cerpen?” (2000). Kerisauan Sapardi bertambah setelah tahu bahwa cerpen tidak dibicarakan dalam Pertemuan Sastrawan 1974, hanya novel dan puisi saja yang dapat tempat.
Kongres Cerpen Indonesia, barangkali adalah sebuah upaya konkret menjawab kerisauan ini, dan mempergunjingkan sejumlah problema yang melingkupinya. Entah, apakah kelak, sebuah kongres dapat menemukan ‘obat dan resep’ jitu untuk menyembuhkan ‘penyakit’ dalam cerpen Indonesia, atau sekedar memperpanjang deretan kerisauan lain, kita tengoklah bersama. Yang pasti, tema demi tema bergulir dalam setiap kongres, dan diberi ruang yang cukup leluasa bagi seluruh penulis cerpen di Indonesia untuk ikut serta memperbincangkannya.
“Ayo, Estetika Lokal!” demikian tema yang diteriakkan Kongres Cerpen Indonesia 2005 di Riau. Ada semacam ajakan yang menyentak, dan menyeret perhatian kita tentang fenomena lokalitas. Ada semacam gerakan yang diam-diam (seolah) menyerbu, membuat rumah ‘ideologi’-nya masing-masing dalam ranah cerpen kita. Jika dulu, ada Polemik Kebudayaan yang mendedahkan tarik-menarik antara tradisi dan modern, Barat dan timur, dan melahirkan sejumlah karya yang mewacanakan kemerdekaan-kemerdekaan individu dalam sebuah komunitas, di sana ada Keluarga Gerilya-nya Pramoedya Ananta Toer, Atheis-nya Achdiat Kartahadimadja, juga Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung. Maka kini, tampaknya ada semacam upaya untuk ‘meneruskan’ gerakan kembali ke tradisi dalam sastra yang pernah dicoba oleh Ajib Rosidi dan kawan-kawan, juga oleh Abdul Hadi WM (dkk) dengan semboyan “kembali ke akar, kembali ke sumber,” meski tentunya dalam konteks yang lebih luas.
Namun, apakah benar bahwa konsep lokalitas telah demikian memberi bentuk-bentuk (pencerahan) baru dalam pergulatan penciptaan cerpen-cerpen mutakhir kita? Lalu dengan apa ‘mengukur’ estetika lokal itu? Bagaimana pula esetetika lokal dalam perspektif pasca-kolonial? Perspektif sosiologis? Sub-sub tema inilah yang akan dibahas oleh Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Sutardji Calzoum Bachri, Melani Budianta, Nirwan Dewanto, Ahmadun Y Herfanda, dan Agus R Sarjono. Sementara Joni Ariadinata, Ahmad Tohari, Budi Darma, Gus TF, dan Taufik Ikram Jamil, akan mendedahkan proses kreatif mereka dalam versi lokalitas dan sosio-kultur masing-masing.
***
Lalu, untuk apa sesungguhnya Kongres Cerpen bagi Riau? Apakah Riau memang membutuhkan sebuah kongres untuk konstelasi sastra (khususnya cerpen) yang tampak berjalan ‘biasa-biasa saja’ ini. Tak ada yang bisa benar-benar memberi keyakinan bahwa Riau sedang bersungguh-sungguh membangun dunia cerpen. Jika buku Satu Abad Cerpen Riau adalah peneguhan dari sebuah eksistensi sejarah, maka sungguh, Riau tampak sangat miskin dengan penulis cerpen. Hanya tinggal beberapa penulis saja dari 61 penulis Riau yang tercantum dalam buku Satu Abad Cerpen Riau, yang sampai kini masih aktif (berjuang) menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam cerpen-cerpennya. Barangkali, untuk menambah referensi, kita dapat pula bercermin dari sejumlah buku lain seperti Pertemuan dalam Pipa yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta (2004), lalu antologi cerpen pilihan Riau Pos 2004 berjudul Seikat Dongeng Tentang Wanita (Yayasan Sagang, 2004).
Dalam catatan saya setahun terakhir, sejak September 2004 sampai akhir tahun 2005, hanya satu-dua cerpen saja dari penulis Riau yang ‘nongol’ di beberapa media massa nasional. Media lokal, semacam Riau Pos dan Riau Mandiri, juga Majalah Sagang dan Majalah Seni Berdaulat, tampak muncul nama-nama penulis cerpen yang itu-itu saja. Dan sangat sulit ditemukan catatan-catatan (apalagi kritik) tentang karya-karya (khususnya cerpen) dari penulis Riau. Artinya, secara diam-diam, Riau mempunyai persoalan-persoalan (intrinsik dan ekstrinsik) yang belum sepenuhnya tersentuh. Lalu estetika lokal?
Sebenarnya kita patut kuatir, jangan-jangan wacana lokalitas dipandang sekilas sebagai sebuah ruang kecil yang justru mempersempit cakrawala pandangan penulis Riau. Sehingga berefek pada menyempitnya ruang sosialisasi dan publisitas karya. Artinya, upaya-upaya menerobos ‘komunikasi karya’ yang lebih luas, menjadi tertutup. Lokalitas, kemudian menjadi lebih bersifat politis dibanding estetis. Dan karya hanya mampu bicara dalam wilayah yang terbatas, dan ‘gemetar’ saat dilempar ke wilayah baca yang lebih luas. Lokalitas, dengan pemahaman serupa itu, justru dapat mengurung kita dalam penjara-penjara rasialisme, dan kedaerahan yang massif. Untunglah, Riau masih memiliki satu-dua penulis yang mampu memberi warna dalam konstelasi sastra di negeri ini. Nama-nama ‘besar’ mereka telah membawa nama (lokalitas) Riau ke dalam khazanah sastra nasional, bahkan internasional.
Maka, hemat saya, kehadiran Kongres Cerpen di Riau adalah sebuah counter. Penulis cerpen dari seluruh Indonesia yang hadir dengan membawa ‘beban’ lokalitasnya masing-masing, secara tak langsung akan meleburkan diri, duduk semeja, berbual-bual tentang banyak hal. Dengan begitu, ada pintu-pintu yang diam-diam terbuka, menawarkan beragam ‘bahasa’ komunikasi baru dalam wilayah penciptaan makna yang lebih universal. Penulis Riau, mestinya menjadi sebuah rumah yang dengan berbesar hati membukakan pintu lebar-lebar untuk para tamu ‘lokal’ dari daerah yang lain. Keterbukaan inilah yang memperluas jarak pandang, memberi wawasan, sekaligus mencari kunci-kunci persoalan yang ‘membelenggu’ dunia kepenulisan di Riau. Selamat datang Kongres Cerpen Indonesia….***
Marhalim Zaini, sastrawan, Ketua Pelaksana Kongres Cerpen Indonesia 2005.

Tidak ada komentar: