Minggu, 23 November 2008

JARINGAN SENIMAN RIAU (JSR)

Pernyataan Sikap

Jaringan Seniman Riau (JSR)

Pekanbaru, 16 November 2008

Mengamati dan menganalisa kondisi kesenian (di) Riau saat ini, maka yang tampak dan mencuat adalah ketidakjelasan orientasi dan kekacauan paradigma. Bahkan berbagai gejala menunjukkan bahwa aktivitas kesenian kita telah masuk ke dalam suasana euforia berlebihan dan histeria perayaan semata, tanpa menukik ke dalam penggalian substansi nilai-nilai kebudayaan. Berbagai lembaga, yang mengusung dan mengatasnamakan seni-budaya, menggelar berbagai iven seni dan budaya yang tumpang tindih dan simpang siur. Kerja kebudayaan, kemudian dimaknai hanya sebatas aktivisme, sekedar seremonial, tanpa konsep yang matang, dengan target yang tak jelas. Kerja kebudayaan, bahkan telah ”diperalat” dan ”ditunggangi” hanya sebagai kendaraan mencapai tujuan-tujuan materialistik belaka. Bahkan belakangan, kerja kebudayaan dimanipulasi secara sangat nyata dan vulgar sebagai media publisitas politik.

Sehingga, yang terjadi kini bukan mempercepat perkembangan gerak hidup seni-budaya kita, akan tetapi justru menumpulkan hasrat kreatif para pengkarya untuk melahirkan karya-karya bermutu. Kalau pun lahir karya-karya, mayoritas adalah karya-karya yang tidak dilandasi oleh kerja ”serius” untuk menggali capaian-capaian estetika. Maka kemudian lahirlah para ”seniman instan” yang dikarbit oleh sebuah ”sistem berkesenian” yang sakit, yang melahirkan karya-karya musiman, karya-karya pesanan, karya-karya asal jadi. Sistem kesenian yang terlampau cepat membuat orang-orang mengaku dirinya sebagai seniman hebat, sebagai budayawan, sebagai orang yang merasa paham betul ”mengurusi” dunia seni-budaya. Sebab, ”sistem kesenian” ini memang lebih banyak terbentuk dari paradigma kekuasaan yang politis, yang ”melembagakan” kesenian sebagai sebuah lembaga yang tak berbeda dengan organisasi politik. Padahal, sebagai sebuah ruang ekspresi yang mengungkai nilai-nilai kemanusiaan, kesenian tak bisa ”dipenjara” dalam sebuah tafsir tunggal, dalam sebuah dominasi kultural, dalam sebuah otoritarianisme kekuasaan. Salah satu ruang ”pelembagaan” kesenian yang patut kini dipertanyakan peran, fungsi, dan keberadaannya adalah Dewan Kesenian Riau (DKR), Dewan Kesenian Pekanbaru, Dewan Kesenian di daerah-daerah, dan juga Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata.

Meski sesungguhnya, tanpa disadari, seniman-seniman mumpuni—baik yang generasi lama maupun baru—dengan kreativitas dan produktivitas tinggi tetap lahir di berbagai ceruk-ceruk daerah yang tak tersentuh oleh publikasi. Mereka seolah tersisih di rumah sendiri. Seniman-seniman tradisional kita misalnya, tetap hidup dalam keprihatinan sosial-ekonomi. Sementara lembaga-lembaga yang terkait, yang mestinya bertanggungjawab dalam pemberdayaannya, terus saja ”menjual” mereka dalam berbagai iven, sebagai ”boneka pajangan yang lucu,” tanpa peduli realitas kehidupan keseharian mereka. Lalu, perhatikanlah seniman-seniman muda kita. Apa kabar mereka? Mereka tumbuh dalam ruang linglung, menyaksikan generasi pendahulu mereka yang membangun ”imperium” mereka sendiri-sendiri. Seniman-seniman muda kita pun kian bingung, ketika dihadapkan pada realitas berkesenian yang tidak sehat, bahkan banyak di antara mereka pun ikut masuk ke dalam labirin yang sesat. Jadi pengekor alias epigon. Jadi pasif, dan tidak kritis. Jadi apatis dan permisif. Jadi pragmatis, dan terlalu cepat puas. Jadi orang-orang yang takut berbuat.

Kini patut digarisbawahi, bahwa tanpa lembaga-lembaga yang tersebut di atas, seniman-seniman tetap tak berhenti berkarya. Seniman-seniman (sesungguhnya) tak terlampau ”berharap” dari lembaga-lembaga tersebut untuk menopang keberlangsungan proses kreatif mereka. Namun, misalnya terkhusus DKR, sebagai sebuah lembaga yang mengatasnamakan kesenian Riau, dan didirikan bersama seniman dan budayawan Riau serta Gubernur Riau, yang berperan sebagai (sebagaimana tercantum dalam Pedoman Dasar DKR):

1.Pemikir dan konseptor kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan keseniaan di Provinsi Riau.

2.Sebagai pelaksana pengembangan kesenian guna membantu Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui langkah-langkah peningkatan kegiatan kesenian, peningkatan kualitas kesenian, peningkatan apresiasi seni masyarakat, peningkatan penghargaan dan kesejahteraan seniman.

Maka sudah barang tentu, mau tak mau, DKR harus mengambil peran yang demikian penting dengan strategi-strategi yang terkonsep, untuk ”mengawal” perkembangan kesenian (di) Riau. Pertanyaannya, apakah kini fungsi dan peran tersebut telah teraplikasi dengan baik dan benar? Siapakah kemudian yang ”mengawal” dengan ketat, cermat, dan kritis jika fungsi dan peran tersebut tak dapat terlaksana secara maksimal?

Demi menunjukan kepedulian dan keprihatinan kami atas kondisi ini, kami para penggiat kesenian, para sarjana/akademisi seni, para pengkarya dari berbagai genre seni di Riau, yang tergabung dalam JARINGAN SENIMAN RIAU memaklumatkan pernyataan sikap sebagai berikut:

1. Menolak diselenggarakannya iven-iven seni-budaya yang menghabiskan dana rakyat yang besar, namun tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan mendasar proses pengembangan karya para seniman dan penikmat seni-budaya. Dan segera evaluasi dan kritisi berbagai iven seni-budaya yang telah dan akan digelar di Riau, terutama yang terkait dengan orientasi kegiatan dan transparansi pendanaannya.

2. Mempertanyakan kembali peran dan fungsi lembaga-lembaga seni-budaya di Riau, seperti DEWAN KESENIAN RIAU (DKR), DEWAN KESENIAN PEKANBARU, DEWAN KESENIAN DAERAH, dan juga DINAS KEBUDAYAAN, KESENIAN DAN PARIWISATA.

3. Mempertanyakan kinerja kepengurusan DEWAN KESENIAN RIAU (DKR), DEWAN KESENIAN PEKANBARU (DKP), dan DEWAN KESENIAN DAERAH (DKD) dalam menjalankan peran dan fungsinya.

4. Menolak ”eksploitasi” lembaga kesenian sebagai kendaraan politik.

5. Menolak kebijakan-kebijakan sepihak yang mengatasnamakan lembaga kesenian macam DKR, DKP, dan DK daerah, yang bertujuan pada kepentingan-kepentingan pribadi. Apalagi yang terkait dengan hal-hal di luar dunia kesenian. Kebijakan, pikiran, tindakan seseorang/pengurus lembaga kesenian, yang tidak terkait dengan dunia kreativitas seni, adalah tidak sama sekali mencerminkan pikiran dan tindakan seniman secara kolektif.

6. Menolak dominasi lembaga-lembaga seni-budaya tertentu dalam memanfaatkan bantuan dana pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan seni-budaya, tanpa memberikan peluang bagi lembaga (sanggar/komunitas) yang lain.

7. Segera memberikan perhatian khusus dengan serius kesejahteraan seniman-seniman tradisional di Riau, dan kesejahteraan seniman-seniman (modern) yang tunak dalam berkarya.

8. Menggesa penggunaan dan pengelolaan gedung Anjung Seni Idrus Tintin sebagai tempat para seniman berkarya, dan memberi kebebasan seluas-luasnya kepada setiap seniman untuk dapat memanfaatkan gedung tersebut, tanpa dibebani dengan pendanaan yang besar dan berlebihan.

9. Karena mendesaknya berbagai persoalan kesenian kita yang mesti dibahas dan dicari solusinya, maka kami mengusulkan dan menyetujui digelarnya KONGRES SENIMAN RIAU.

Demikian, pernyataan ini kami buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, untuk menghimpun semangat bersama membangun dunia seni budaya (di) Riau ke dapan menjadi lebih baik dan bermartabat.

Wassalam,

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini,

JARINGAN SENIMAN RIAU:

  1. Jon Kobet, S.Sn (Diskomvis, Rokan Hulu)
  2. SPN Marhalim Zaini, S.Sn (Sastra/Teater, Pekanbaru)
  3. Hery Budiman (Fotografer, Pekanbaru)
  4. Romi AB. S.Sn (Perupa/Film, Teluk Kuantan)
  5. Fery A Jaham, S.Sn (Keramik, Pekanbaru)
  6. Hukmi, S.Sn. M.Hum (Musik, Pekanbaru)
  7. Ibenk Nureska (Teater/Film, Kampar)
  8. Husin, S.Sn (Teater, Kampar)
  9. Hasan, S.Sn (Teater, Kampar)
  10. Jufri HBR, S.Sn (Teater, Kampar)
  11. Idrus Min, S.Sn (Kampar)
  12. Khalil Zuhdi, S.Sn (Lukis, Kampar)
  13. M. Rasyid (Lukis, Tembilahan)
  14. SPN Masteven Romus (Perupa, Pekanbaru)
  15. Monda Gianes, A.Md. Sn (Teater, Pekanbaru)
  16. Abdul Haris, S.Sn (Kriya, Rokan Hulu)
  17. Dewi Masruroh, S.Sn (Poster, Rokan Hulu)
  18. Taslim (Koba, Rokan Hulu)
  19. Suwarno, S.Sn (Kriya, Siak)
  20. M. Yulidin, S.Sn (Kriya, Siak)
  21. Rio Dwi Suprianto, S.Sn (Lukis, Bankinang)
  22. Miranti Mayang Sari, S.Sn (Tari, Pekanbaru)
  23. Selamet Rifaldi, A.Md.Sn (Musik, Pekanbaru)
  24. Adhari Donora, S.Sn (Interior, Pekanbaru)
  25. Alvi Puspita (Sastra, Pekanbaru)
  26. Jefry Al Malay, A.Md.Sn (Teater/Sastra, Pekanbaru)
  27. Sobirin Zaini (Sastra, Pekanbaru)
  28. M. Thariq, S.Sn (Perupa, Pekanbaru)
  29. Deby (Keramik, Pekanbaru)
  30. Jonrizon (Musik, Pekanbaru)
  31. Hary B Kori’un (Sastra, Pekanbaru)
  32. Ocu Edi (Kampar, Pekanbaru)
  33. Ade (Teater, Rengat)
  34. Wetry Febrina (Sastra, Dumai)
  35. SPN Arman Rambah, S.Pd (Musik, Pekanbaru)
  36. M. Kafrawi, S.S, M.Sn (Sastra/Teater, Pekanbaru)
  37. Saridan, S.Sn (Kriya, Tembilahan)
  38. Saaduddin, S.Sn (Teater, Pekanbaru)
  39. Fransisko Asmino, S.Sn (Kriya, Pekanbaru)
  40. Misselia Novitri, S.Sn (Tari, Kampar)
  41. Dewi MN, S.S (Sastra/Teater, Pekanbaru)
  42. Gde Agung Lontar (Sastra, Pekanbaru)
  43. SPN Zuarman Ahmad (Musik, Pekanbaru)
  44. Pandapotan MT Siallagan (Sastra, Pekanbaru)