Jumat, 07 Desember 2007

Esai Sastra

Puisi yang Santun
(Catatan dari Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka)

Oleh Marhalim Zaini

Memanglah benar bahawa penyair Melayu tidak harus melompat begitu saja ke pentas teknik puisi dunia, tapi, dalam waktu yang sama, penyair kita tidak juga boleh membiarkan diri tertinggal naif dalam acuan genggaman atau sinar kegemilangan lama.”

Ini kutipan kertas kerja A Samad Said, seorang pengarang asal Melaka yang bergelar Sasterawan Negara, penerima SEA Write Award tahun 1979. Dari rambut, juga janggutnya yang merimbun terjurai memutih, tak dapat diduga bahwa dari mulutnya akan keluar kalimat semacam ini. Terutama dalam konteks bagaimana ‘kegemilangan masa silam’ negeri kelahirannya itu telah demikian membuat para pelaku, juga pewarisnya kini, terkhusus para penyairnya, menjadi seperti terus-menerus ingin hidup dan berada dalam genggamannya. Tradisi, seolah hadir secara rutin dalam setiap gerak-nafas kebudayaan mereka, menjelma jadi sesuatu yang tak boleh tidak harus ‘dirayakan’ sebagai simbol kebanggaan dalam karya-karya mereka, dalam puisi-puisi mereka. Saya kira, orang tua macam A Samad Said, tiba-tiba menjadi amat langka. Tersebab, ia justru melompat keluar menuju pentas dunia yang lebih luas. Khazanah tradisi bukan sekedar membangkitkan romantisme, tapi juga energi, spirit, untuk kembali menemukan eksistensi, juga identitas diri lewat karya tulis. Kesibukan mengurusi ‘pertelagahan’ antara tradisi dan modernisme sebagai dua entitas yang kerap dipandang bertentangan, agaknya hanya sebagai instrument untuk dapat menelisik betapa tak dapat lepasnya kebudayaan kita dari tarik-ulur historitasnya sendiri, di samping tak pula mampu mengelak dari serangan globalisasi. Ini melelahkan, bukan?
Tapi, kita memang belum selesai. Jadi mau tak mau ya harus kembali masuk ke dalam wilayah pertelagahan semacam itu. Tema “Puisi Nasional: Tradisi Menunjang Pemodenan Bangsa’ yang dibentang dalam iven Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka, anjuran Kerajaan Negeri Melaka dan Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) juga sejumlah institusi lain, hemat saya lebih memperlihatkan bangkitnya sebuah kesadaran tentang betapa puisi sebagai salah satu simbol kebudayaan yang paling ekspresif, telah mengalami ‘krisis’ dalam tubuh permaknaannya sendiri. Tersebab ia telah kian tak terelakkan untuk bersinggungan dengan berbagai style bahasa, dari berbagai sumber sosio-cultural, terutama yang datang dari Barat. Dirasa sangat urgen agaknya, bagi Malaysia, yang selama ini hendak bersikukuh dengan identitas ke-melayuannya, pun ke-islamannya, ketika tubuh ‘puisi nasional’ mereka mulai gamang membaca diri. Barangkali saja kita boleh bersepakat dengan Nor Faridah Abdul Manaf (2003) ketika dia melakukan pembacaan atas “Krisis Identitas Puisi-puisi Malaysia Berbahasa Inggris”, bahwa kata ‘krisis’ yang saya sebut di atas dimaknai saja dalam konotasi positif. “Kata tersebut dipakai untuk menggambarkan kesadaran para penyair tentang keterputusan mereka dengan masa lalu dan kini muncul keinginan kuat untuk menyusun ulang sejarah mereka melalui pengucapan mereka sendiri.”
Namun, kita ikut kuatir jika ‘krisis’ lebih dimaknai sebagai gangguan yang harus ditakuti, dan lalu ‘membunuh’ polemik, menjauhi segala yang berbau modernisme. Maka, apa yang kemudian lahir dari sana adalah sebuah ‘kemapanan’, sebab ia telah berhenti menggali diri, dan lantas berhenti pula menjadi ‘puisi’. Paham tradisional kita, pada saat-saat serupa itu, membeku dalam tatanan baku. Pantun, berhenti jadi pantun yang menguarkan cahaya tafsir makna dan nasehat mulia, jika ia tak mampu hidup dan memancarkan cahayanya ke berbagai ruang, termasuk ruang global. Syair, tak mampu mengalir dalam urat darah kehidupan orang masa kini jika ia tetap egois dengan dirinya sendiri. Begitu pula gurindam, yang selalu mengikat diri dalam bingkai nasehat religius dengan verbalisme bahasa dan tak menghadirkan ruang lain untuk sebuah tafsir yang lebih universal, maka ia akan kian menjarak dalam ruang sunyi.
Puisi modern, dalam konteks ini, adalah sebuah ruang alternatif itu. Ruang ekspresi bahasa yang dapat mewakili secara lebih personal dan khas, sebab ia dapat mewartakan kegelisahan-kegelisahan spiritual maupun intelektual seseorang. Baik bentuk maupun isi, ia mengandung paham terbuka terhadap berbagai tafsir. Maka tugasnya menjadi lebih spesifik jika kemudian karakter bahasanya dapat dibangun dan digali dari karakter kultural yang tersembunyi dalam genre macam pantun, syair, gurindam, dan yang lain. Di sinilah, proses kreatif bekerja dalam wilayahnya yang merdeka. Artinya, pantun kelak akan menemukan ‘rumah’ barunya dalam bahasa ucap dan bahasa makna kekinian, yang lebih mewakili semangat zaman. Begitu pula, bentuk sastra klasik lainnya.
Namun, kalau kita hendak menyandingkan puisi-puisi karya penyair Malaysia dengan puisi-puisi karya penyair Indonesia, maka akan sangat tampak kecenderungan yang berbeda. Puisi-puisi penyair Malaysia, seperti dapat dibaca dalam antologi puisi setebal 909 halaman yang memuat lebih 1000 sajak, bertajuk Ratib Seribu Syair, lebih terasa santun, dengan tema-tema alam dan kemerdakaan. Unsur-unsur sastra klasik justru terasa lebih banyak menjelma dalam wajahnya yang tak jauh berubah. Puisi-puisi Malaysia, hemat saya, adalah puisi-puisi yang ‘menghindar’ dari ombak pergolakan eksistensial, dan merapat ke muara ‘makna’ yang tenang. Sementara, puisi-puisi Indonesia memiliki kecenderungan sebaliknya. Dan saya kira, di sinilah kebenarannya, bahwa puisi adalah cermin realitas sosial penyairnya. Indonesia yang kerap diterpa pergolakan sosio-kultural dalam fase-fase zaman yang bergerak ‘keras’ serta merta akan membawa sang penyairnya untuk mau tidak mau masuk ke dalamnya. Maka yang lahir kemudian adalah sajak-sajak yang ‘liar’ dengan pembongkaran estetika yang terasa ekstrem.
Dan demikianlah halnya wacana yang berkembang dalam sejumlah sesi seminar dalam iven Hari Puisi Nasional. Para pembicara sesi awal macam Tenas Effendy dan Zainal Kling, tampak lebih mempertegas kembali tafsir atas nilai-nilai murni budaya bangsa yang terkandung dalam sastra klasik, sekaligus ikut menggesa lahirnya puisi modern yang ikut mengekalkan jatidiri bangsa. Pada sesi berikutnya A Samad Said dan Rahman Shaari, lebih bertutur tentang teks puisi. Mulai dari proses kreatif penciptaanya yang melibatkan berbagai instrument sosial di belakangnya, sampai pada bagaimana menghadapi sebuah puisi sebagai medan permaknaan. Lalu sesi terakhir, yang jadi pembicara Rida K Liamsi, Aminah, dan saya sendiri yang tiba-tiba diminta oleh Abdul Latiff Abu Bakar untuk ikut bercerita tentang proses kreatif penggarapan Opera Melayu Tun Teja. Jadi agak melenceng nampaknya. Tapi, intinya justru pada upaya pembongkaran teks lama, untuk mencipatkan teks baru, dengan tentu saja tafsir yang baru pula.
Meski agaknya, saya berbicara di ruang yang tak tepat, sehingga kemudian tak berbenih perdebatan yang lebih produktif tentang wacana yang saya lemparkan. Anak-anak muda yang hadir dalam ruang itu, adalah anak-anak muda yang belum (atau mungkin tak boleh) mengutarakan kehendak dan kreativitasnya secara lebih artikulatif. Mereka lebih memilih membisu, dengan sesekali tersenyum pahit mendengarkan petuah romantisme dari para penulis tua (usia). Saya kira, harus ada satu ruang lain, ruang alternatif, yang mengakomodir berbagai kemungkinan pemikiran tentang dunia puisi Melayu kita, berbagai ‘perlawanan’ esetetika, berbagai semangat untuk meneriakkan suara-suara dari kesadaran baru tentang dunia tradisional kita juga tentang modernisme. Sebab saya sangat yakin, bahwa sungai yang tenang jangan disangka tak ada arus di kedalamannya. Nyatanya, setelah saya turun dari podium seminar, sejumlah anak muda, menyalami saya dengan tatapan mata yang menyimpan geram, menguarkan semangat yang terpendam. Dan, saya kira, saya juga sedang merasakan salam dari mareka yang bergelora ketika kami (Rida K Liamsi, Murparsaulian, Kazzaini KS, Zuarman Ahmad, dan Marhalim Zaini) turun dari panggung sehabis membaca sajak-sajak bernuansa laut, karya Rida K Liamsi. Sebab agaknya, laut sunyi dalam diri anak-anak muda itu mulai berombak oleh hembusan angin sajak-sajak Rida yang penuh gelora, berhayun-hayun dari tepi ke tepi, mengibas pasir-pasir yang diam, sambil membisikkan ‘birahi’ zaman yang memuncak naik.
Namun, satu hal yang patut dicatat, bahwa mereka, para penulis Malaysia itu, harus berbangga diri, sebab eksistensi mereka diakui. Pengakuan dalam konteks yang tentu saja lebih luas. Posisi Sasterawan Negara, macam A Samad Said dan sejumlah nama lain, adalah posisi puncak yang ‘terhormat.’ Negara sebagai pemegang otoritas kebijakan, tentu saja menjadi strategis dalam hal memberi laluan yang luas terhadap perkembangan proses kreatif kepenulisan para sastrawannya. Negara turut memikirkan soal ekonomi, soal biaya hidup, soal beli tinta print, soal beli kertas, soal terbitkan buku, soal bayar royalti, soal-soal lain yang kiranya mendukung kerja kepenulisan. Mereka, tetangga kita itu, berapi-api berbicara tentang tradisi, tapi sekaligus menghargai tradisi itu sendiri, dengan berbagai perhatian penuh terhadap pekerjanya, terhadap segala sesuatu yang terkait padanya. Tapi kita, memang juga berapi-api berbicara tentang tradisi, tentang seni, tentang kebudayaan, akan tetapi sekejap padamlah. Jangankan berharap akan diperhatikan asap dapur para pekerjanya dan kebutuhan kreatifitasnya, disapa saja itu sudah beruntung. Meski, janga lupa, bahwa di Riau juga ada gelar berbunyi Seniman Pemangku Negeri, atau yang lebih tinggi Seniman Perdana. Tapi, itu cukuplah dipakai sebagai simbol saja, sebab ia tak berfungsi untuk dapat meningkatkan status sosial si penulis untuk dapat duduk setara dengan Dorce Gamalama misalnya, atau bahkan si Micky AFI sekalipun, yang diundang jadi tamu termormat pada Hari Ulang Tahun negeri Riau tercinta ini. Ironis memang. Tapi, ya apa boleh buat....***

Marhalim Zaini, sastrawan.

Jumat, 23 November 2007

Untuk Apa Kongres Cerpen bagi Riau

Esai Sastra
Untuk Apa Kongres Cerpen bagi Riau?

Oleh Marhalim Zaini

Di ujung tahun 2004 yang lalu, Yayasan Sagang menerbitkan sebuah buku setebal 482 halaman, yang menghimpun 61 cerpen dari penulis Riau. Buku yang diberi judul Satu Abad Cerpen Riau ini (secara implisit) didedikasikan secara khusus bagi Soeman HS, seorang pendiri tonggak terpenting dalam sejarah penulisan cerpen di negeri ini (meski cukup disayangkan dalam Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, nama Soeman HS terlupakan). Padahal lewat sejumlah cerita-cerita pendeknya yang bergaya humor, bersama M. Kasim (di awal tahun 1910-an), cerpen mulai dikenal di Indonesia. Banyak pakar berkeyakinan (termasuk Taufik Ismail dan Hasan Junus) –dan tentu tak terlampau berlebihan—jika Soeman HS dan M. Kasim disebut sebagai pemula (lahirnya bentuk penulisan) cerpen di Indonesia.
Sebuah hasrat tersirat yang dapat ditangkap dari terbitnya buku ini adalah, upaya penegasan sejarah, tentang sebuah perjalanan panjang tradisi penulisan cerpen di Riau. Sosok Soeman HS (kelahiran Bengkalis, tahun 1904) diletakkan pada titik awal penelusuran, dan kemudian menarik garis ke tahun 2004. Satu abad, tentu bukan waktu yang ‘ringan’ untuk menimbang sebuah jejak perjalanan. Ini kerja berat, dan melelahkan. Maka, meski telah tersaring sebanyak 61 penulis cerpen, masih saja ada yang tercecer. Namun begitu, isi buku ini cukup memberi lanskap yang transparan (meski belum cukup representatif) tentang ekspresi linguistik para penulis cerpen (di) Riau.
Lalu, sekitar setahun setelah buku itu terbit, kini di Riau digelar pula Kongres Cerpen Indonesia IV (Hotel Nuansa, 26 sampai 30 November 2005), setelah sebelumnya digelar di Yogyakarta, Bali, dan terakhir di Lampung. Kenapa harus Riau? Agaknya, kita bisa saja secara spontan, dan serempak, menjawab dengan lugas, bahwa secara historis, dan juga secara ekonomis, selain visi 2020, Riau memang ‘layak’ jadi tuan rumah. Lalu, kenapa harus cerpen? Kita sepakat, bahwa sejak berkembangnya teknologi di Indonesia, dengan bermunculannya beragam jenis media massa, boleh dikata cerpen selalu mendapat tempat. Tak hanya di ruang-ruang khusus kebudayaan, bahkan di majalah-majalah hiburan, majalah keluarga, remaja (dsb). Kenyataan inilah agaknya, yang membuat Sapardi Djoko Damono risau dan melemparkan pertanyaan dalam sebuah judul esainya, “Dapatkah Kita Menghindarkan Diri dari Cerpen?” (2000). Kerisauan Sapardi bertambah setelah tahu bahwa cerpen tidak dibicarakan dalam Pertemuan Sastrawan 1974, hanya novel dan puisi saja yang dapat tempat.
Kongres Cerpen Indonesia, barangkali adalah sebuah upaya konkret menjawab kerisauan ini, dan mempergunjingkan sejumlah problema yang melingkupinya. Entah, apakah kelak, sebuah kongres dapat menemukan ‘obat dan resep’ jitu untuk menyembuhkan ‘penyakit’ dalam cerpen Indonesia, atau sekedar memperpanjang deretan kerisauan lain, kita tengoklah bersama. Yang pasti, tema demi tema bergulir dalam setiap kongres, dan diberi ruang yang cukup leluasa bagi seluruh penulis cerpen di Indonesia untuk ikut serta memperbincangkannya.
“Ayo, Estetika Lokal!” demikian tema yang diteriakkan Kongres Cerpen Indonesia 2005 di Riau. Ada semacam ajakan yang menyentak, dan menyeret perhatian kita tentang fenomena lokalitas. Ada semacam gerakan yang diam-diam (seolah) menyerbu, membuat rumah ‘ideologi’-nya masing-masing dalam ranah cerpen kita. Jika dulu, ada Polemik Kebudayaan yang mendedahkan tarik-menarik antara tradisi dan modern, Barat dan timur, dan melahirkan sejumlah karya yang mewacanakan kemerdekaan-kemerdekaan individu dalam sebuah komunitas, di sana ada Keluarga Gerilya-nya Pramoedya Ananta Toer, Atheis-nya Achdiat Kartahadimadja, juga Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung. Maka kini, tampaknya ada semacam upaya untuk ‘meneruskan’ gerakan kembali ke tradisi dalam sastra yang pernah dicoba oleh Ajib Rosidi dan kawan-kawan, juga oleh Abdul Hadi WM (dkk) dengan semboyan “kembali ke akar, kembali ke sumber,” meski tentunya dalam konteks yang lebih luas.
Namun, apakah benar bahwa konsep lokalitas telah demikian memberi bentuk-bentuk (pencerahan) baru dalam pergulatan penciptaan cerpen-cerpen mutakhir kita? Lalu dengan apa ‘mengukur’ estetika lokal itu? Bagaimana pula esetetika lokal dalam perspektif pasca-kolonial? Perspektif sosiologis? Sub-sub tema inilah yang akan dibahas oleh Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Sutardji Calzoum Bachri, Melani Budianta, Nirwan Dewanto, Ahmadun Y Herfanda, dan Agus R Sarjono. Sementara Joni Ariadinata, Ahmad Tohari, Budi Darma, Gus TF, dan Taufik Ikram Jamil, akan mendedahkan proses kreatif mereka dalam versi lokalitas dan sosio-kultur masing-masing.
***
Lalu, untuk apa sesungguhnya Kongres Cerpen bagi Riau? Apakah Riau memang membutuhkan sebuah kongres untuk konstelasi sastra (khususnya cerpen) yang tampak berjalan ‘biasa-biasa saja’ ini. Tak ada yang bisa benar-benar memberi keyakinan bahwa Riau sedang bersungguh-sungguh membangun dunia cerpen. Jika buku Satu Abad Cerpen Riau adalah peneguhan dari sebuah eksistensi sejarah, maka sungguh, Riau tampak sangat miskin dengan penulis cerpen. Hanya tinggal beberapa penulis saja dari 61 penulis Riau yang tercantum dalam buku Satu Abad Cerpen Riau, yang sampai kini masih aktif (berjuang) menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam cerpen-cerpennya. Barangkali, untuk menambah referensi, kita dapat pula bercermin dari sejumlah buku lain seperti Pertemuan dalam Pipa yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta (2004), lalu antologi cerpen pilihan Riau Pos 2004 berjudul Seikat Dongeng Tentang Wanita (Yayasan Sagang, 2004).
Dalam catatan saya setahun terakhir, sejak September 2004 sampai akhir tahun 2005, hanya satu-dua cerpen saja dari penulis Riau yang ‘nongol’ di beberapa media massa nasional. Media lokal, semacam Riau Pos dan Riau Mandiri, juga Majalah Sagang dan Majalah Seni Berdaulat, tampak muncul nama-nama penulis cerpen yang itu-itu saja. Dan sangat sulit ditemukan catatan-catatan (apalagi kritik) tentang karya-karya (khususnya cerpen) dari penulis Riau. Artinya, secara diam-diam, Riau mempunyai persoalan-persoalan (intrinsik dan ekstrinsik) yang belum sepenuhnya tersentuh. Lalu estetika lokal?
Sebenarnya kita patut kuatir, jangan-jangan wacana lokalitas dipandang sekilas sebagai sebuah ruang kecil yang justru mempersempit cakrawala pandangan penulis Riau. Sehingga berefek pada menyempitnya ruang sosialisasi dan publisitas karya. Artinya, upaya-upaya menerobos ‘komunikasi karya’ yang lebih luas, menjadi tertutup. Lokalitas, kemudian menjadi lebih bersifat politis dibanding estetis. Dan karya hanya mampu bicara dalam wilayah yang terbatas, dan ‘gemetar’ saat dilempar ke wilayah baca yang lebih luas. Lokalitas, dengan pemahaman serupa itu, justru dapat mengurung kita dalam penjara-penjara rasialisme, dan kedaerahan yang massif. Untunglah, Riau masih memiliki satu-dua penulis yang mampu memberi warna dalam konstelasi sastra di negeri ini. Nama-nama ‘besar’ mereka telah membawa nama (lokalitas) Riau ke dalam khazanah sastra nasional, bahkan internasional.
Maka, hemat saya, kehadiran Kongres Cerpen di Riau adalah sebuah counter. Penulis cerpen dari seluruh Indonesia yang hadir dengan membawa ‘beban’ lokalitasnya masing-masing, secara tak langsung akan meleburkan diri, duduk semeja, berbual-bual tentang banyak hal. Dengan begitu, ada pintu-pintu yang diam-diam terbuka, menawarkan beragam ‘bahasa’ komunikasi baru dalam wilayah penciptaan makna yang lebih universal. Penulis Riau, mestinya menjadi sebuah rumah yang dengan berbesar hati membukakan pintu lebar-lebar untuk para tamu ‘lokal’ dari daerah yang lain. Keterbukaan inilah yang memperluas jarak pandang, memberi wawasan, sekaligus mencari kunci-kunci persoalan yang ‘membelenggu’ dunia kepenulisan di Riau. Selamat datang Kongres Cerpen Indonesia….***
Marhalim Zaini, sastrawan, Ketua Pelaksana Kongres Cerpen Indonesia 2005.

Sabtu, 17 November 2007

Feodalisme: Cinta Kuasa dan Kuasa Cinta (Pembacaan atas Novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi)

Oleh Marhalim Zaini

Sastra Sejarah: Sastra dan Sejarah

ADA persepsi yang seolah melekat-kuat di tubuh dunia Melayu, seolah identik, seolah bersebati, bahkan ia (kerap) menjadi sentral, ketika sistem sosio-politik feodalisme kerajaan, kita suguhkan dalam sebuah ruang perbincangan. Banyak sudah para ahli, juga para pengarang, dari zaman ke zaman merespon, menelaah, menggali berbagai materi dari berbagai perspektif. Buhari al Jauhri misalnya, di tahun 1603 M menyusun Taj al-Salatin yang berisi di antaranya tentang nasehat dan petunjuk bagaimana menjalankan pemerintahan dengan adil, tentang konsepsi kerajaan, serta tentang siapa yang paling layak menyandang gelar raja dengan berbagai persyaratannya. Dalam Sulalat al-Salatin (lebih dikenal dengan Sejarah Melayu) oleh Tun Sri Lanang (1612 M) juga demikian, pun tak jauh berbeda dalam Bustan al-Salatin oleh Nuruddin al-Raniri (1638 M). Lalu Raja Ali Haji juga menulis Tsamarat al-Muhimmat yang juga bermuatan tentang konsep kerajaan dan etika politik di zamannya. [1] Dan tengok juga Tuhfat al-Nafis, yang ditulis oleh Raja Ali Haji di istana Riau (1866-1872) beberapa tahun setelah Sultan Mahmud IV disingkirkan dari istana Lingga oleh Belanda, adalah semacam manifestasi pemikiran-pemikirannya tentang ide-ide politik dunia Melayu sekaligus menawarkan persepsi yang berbeda dalam memandang falsafah mitos di dunia kerajaan.

Lalu, apakah persebatian antara dunia Melayu dan kerajaan ini, kemudian dapat dimaknai oleh generasi zaman kini sebagai sebentuk pemahaman tentang falsafah kebudayaan Melayu secara umum, sekaligus termanifestasikan dalam konsepsi sistem pemerintahan sekarang? Agak rumit dan kompleks menjawabnya. Soalnya kini, bukanlah bagaimana caranya kita harus berduyun-duyun untuk memutar langkah ke belakang, kembali ke masa lampau, menjadi tradisionalis, dan bahkan menjadi (kembali) feodalis, akan tetapi setumpuk karya warisan bangsa Melayu itu, yang lahir dari sebuah tradisi intelektual di lingkungan istana raja-raja Melayu, mutlak menjadi semacam sumber-sumber yang dapat melahirkan karya-karya kreatif yang baru. Namun yang jadi problem kemudian adalah, mampukah (atau maukah) kita mencerna dan melakukan tafsir atas sesuatu yang telah tak aktual, sesuatu yang berada jauh dalam wilayah sejarah kita di masa kini, menjadi sesuatu yang dapat menawarkan aktualitas, menawarkan tentang cara pandang yang baru dari sebuah kehidupan masyarakat yang menyuguhkan kearifan-kearifan, dan lalu menyempal dalam zaman yang sedang berlari ini.

Karya sastra, dalam konteks kerja kreatif serupa yang saya maksud di atas, adalah sebuah ruang alternatif. Dia (karya sastra) bekerja sebagai medium ekspresi yang efektif untuk dapat memahami seluk-liku kehidupan dalam berbagai kemungkinan. Jika dalam sejarah, kita menemukan berbagai fakta, berbagai nama, berbagai peristiwa dalam wilayah yang serba terikat-akurat oleh sistem ilmiah yang lahir dari proses pengamatan yang cermat, penelitian yang detil, maka dalam sastra ruang-ruang imajiner lebih dapat hidup dan berkembang dalam ketajaman tafsir, perenungan yang dalam, serta pengahayatan akan nilai-nilai. Keduanya, sejarah dan sastra, acapkali terjadi tarik menarik ketika kita mulai kembali mambahas tentang dunia kepenulisan kita. Sebab, seperti tak bisa tidak, sejarah yang tertulis di negeri ini selalu disertai dengan ragam mitos yang dapat mengurangi kadar ‘kebenaran’-nya sendiri. Sehingga kitab Sejarah Melayu (Sulalat al-Salatin) pun sempat diragukan sebagai sebuah karya sejarah, apalagi Hikayat Hang Tuah misalnya yang kerap menghadirkan kontraversi.

Mengahadapi novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi, hemat saya, adalah sama halnya menghadapi proses tarik-menarik tersebut. Meski penulis novel tampak lebih menghindar dari sebutan ‘novel-sejarah’ dengan tidak menerakan angka-angka tahun terjadinya persitiwa (ditambah dengan penegasan penulis sendiri dalam Catatan Pembuka di lembar awal novel ini), namun kesan historis tetap melekat-menyertainya, sebab hampir seluruh nama-nama tokoh, juga nama-nama setting tempat, merujuk pada ‘fakta-fakta’ sejarah. Dan tentu saja, dengan demikian, tak dapat serta merta ‘membunuh’ ingatan kolektif kita tentang sejumlah peristiwa sejarah tersebut. Akan tetapi tidak lantas kemudian membuat novel setebal 327 halaman ini kehilangan bentuknya sebagai sebuah karya sastra yang menarik. Sebagai ilustrasi, kalau saja tiba-tiba disuguhkan pada anda kitab Tuhfat al-Nafis dan novel Bulang Cahaya, yang secara garis besar kisahnya (sejumlah episode) merujuk pada riwayat yang sama, hampir dapat saya pastikan pilihan anda akan jatuh pada BC. Kenapa begitu? Tanpa mengecilkan makna dan arti penting kedua naskah tersebut, sebagai orang yang hidup di zaman serba instan dan pragmatis ini, membaca Tuhfat al-Nafis adalah sebuah kerja yang membutuhkan cara baca yang khusus dengan kemampuan pemahaman yang khusus pula, sementara membaca Bulang Cahaya seolah kita sedang membaca sesuatu yang lampau, sesuatu yang jauh, tapi terasa dekat dengan diri kita. Artinya, ada yang masih terasa berdenyut di nadi kita, sesuatu yang selama ini kita anggap sebagai ‘kuburan’. Ada ketertarikan yang kuat dari dalam diri kita untuk ikut memiliki sejarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sebab dalam sejarah, mensinyalir Michel Foucault, menyimpan wacana atau juga instrumen, sehingga ia menjadi teropong untuk dapat membaca peristiwa dan kehidupan manusia masa kini.

Saya kira, inilah kerja penafsiran itu. Sumber-sumber yang kita miliki dari masa lalu, adalah kekayaan kita. Betapa dahsyat daya kreatif yang tertuang dalam banyak karya Andre Gide misalnya yang menyadap karya klasik macam Oedipus yang merupakan kekayaan budaya klasik Yunani. Lalu J.W. Goethe dengan mengangkat karya klasik Jerman macam Faust. Atau seorang pengarang Inggris, James Joyce, bukankah kebesaran namanya tersebab novelnya berjudul Ulysses yang mengolah dari mitologi Yunani. Mari kita baca drama-drama Sofokles, Euripides, Aeschylus misalnya, yang hidup empat-lima abad sebelum Masehi, nafasnya masih juga sampai ke zaman kini karena terus menerus diisi oleh gagasan-gagasan filosofis sesuai dengan dinamika zamannya. Di Indonesia kita mengenal karya-karya Pramoedya Ananta Toer semisal tetralogi Bumi Manusia-nya atau Arok Dedes yang khusus membeberkan peristiwa makar/kudeta dalam konteks pemerintahan ala Jawa. Dalam Arok Dedes, meski yang dikisahkannya adalah peristiwa politik di abad 13, asosiasi kita justru dibawa Pram ke dalam kisah ‘perebutan kekuasaan’ di tahun 1965 dalam catatan sejarah bangsa ini. Contoh lain, juga dapat kita baca karya Remy Silado yang kerap menghadirkan (kembali) realitas sejarah dengan mempertahankan akurasi data faktual ke dalam karya-karyanya dan membangkitkan ingatan kolektif kita akan realitas zamannya. Dan semangat yang terasa menjalar dari novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi ini, adalah semangat yang dibangun dari cara kerja kreatif yang serupa itu.

Paradigma Kekuasaan, Seksualitas, dan Posisi Perempuan

Apa yang dapat kita bayangkan dari sebuah struktur pemerintahan yang feodalistik, tak lain adalah kekuasaan. Tersebab, selain ia demikian menggoda dan memesona, kedudukan raja, adalah kedudukan yang suci, kedudukan yang sentral di mana ‘daulat’ disimbolkan ke atasnya. Dalam konsep Melayu tradisional, semasa monarki absolut bertahta, rakyat sangatlah tergantung pada anugerah raja, sebab raja dianggap ‘pemberian’ Tuhan. Raja-lah yang menghitam-putihkan setiap keputusan. Dalam Novel Bulang Cahaya, kita dapat kembali ‘membayangkan’ prihal kekuasaan yang serupa itu.

Kerajaan Lingga, adalah setting sentral bergulirnya peristiwa-peristiwa dalam novel ini. Dari sana diurai, bagaimana ‘kekuasan’ bergerak dalam berbagai sendi, berbagai sisi dalam kehidupan para bangsawan. Raja Djaafar, adalah seorang tokoh bangsawan berdarah campuran Melayu-Bugis, yang di awal novel ini telah di-identifikasikan sebagai sosok lelaki yang selama lima tahun menanggung dendam, rasa sakit hati yang dalam. Tapi dendam karena apa? Sakit hati tersebab apa? Jawabannya tak dapat segera kita temukan dari mulut Raja Djaafar sendiri, tapi dari sebuah percakapan rombongan yang menjemput Raja Djaafar di Selangor untuk berkenan kembali ke Riau dan menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Raja Ali yang telah wafat. Bahwa ada dua versi sebab utama kenapa Raja Djaafar seolah berpatah arang untuk dapat kembali ke Riau. Pertama, Raja Djaafar kecewa kenapa bukan dia sebagai anak kandung paling tua, yang menggantikan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Syahid Fisabilillah di Teluk Ketapang, tapi justru Raja Ali anak Daeng Kembodja (paman saudara Raja Djaafar) yang diangkat dan dipilih dalam rapat para pembesar kerajaan Riau, terutama dari pihak Bugis. Kedua, ini soal hati. Soal cinta. Raja Djaafar bukan main kecewa ketika Tengku Buntat (anak semata wayang Tengku Muda Muhammad), perempuan Melayu yang selama ini jadi tambatan hatinya, gadis tercantik di Riau, yang dipanggil dengan nama pujian Bulang Cahaya, harus menikah dengan Tengku Husin.

Dari dua versi sebab-musabab di ataslah, hemat saya, cerita dalam novel ini disandarkan. Dan keduanya, sama-sama menyembunyikan potensi riwayat konflik yang saling terkait dan saling memberi pengaruh yang kemudian mengembangkan episode demi episode novel ini. Diangkatnya Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda, merupakan sebuah keputusan politik yang dilatari oleh konflik perebutan kekuasaan Melayu-Bugis. Bermula ketika Belanda dilumpuhkan oleh Inggris, yang otomatis membatalkan pemberlakuan perjanjian Belanda dan Riau (setelah perang) di kapal Utrecht yang berisi bahwa Sultan Mahmud harus mengakui kekalahannya dan berjanji untuk tidak lagi menjadikan orang Bugis sebagai Yang Dipertuan Muda. Belanda pada saat itu memang demikian membenci dan bermusuhan dengan Bugis terutama karena ulah Raja Ali yang menyerang Residen Belanda David Ruhde di Pulau Bayan. Nah, ketika Inggris berkuasa, Raja Ali hendak merebut kembali jabatan Yang Dipertuan Muda, karena ia menganggap itu adalah hak orang Bugis. Raja Ali kemudian menyerang Riau. Dengan dibekali keahliannya dalam berperang, terutama perang melawan kompeni Belanda di Tanjung Palas, setelah lebih 20 hari berperang, akhirnya pasukan Raja Ali memenangkan pertempuran. Raja Ali berhasil menguasai sejumlah pulau. Namun belum sempat mereka menyerbu Tanjungpinang, Sultan Mahmud memerintahkan untuk menghentikan peperangan, dan menyuruh kedua belah pihak (Raja Ali dan Tengku Muda Muhammad) untuk segera menghadapnya di Pulau Bulang.

Dalam pertemuan inilah, terjadi tarik-menarik kepentingan, tawar-menawar politis, antara Melayu dan Bugis. Pihak Bugis yang demikian kuat mendesak untuk segera mengembalikan hak-hak mereka sebagai orang Bugis, tampak mendominasi pembicaraan. Sehinga dengan segala macam argumentasi, akhirnya lewat mulut Raja Andak, salah seorang penasehat kerajaan dan ketua pemangku adat dari pihak keturunan Bugis, Sultan Mahmud menetapkan titahnya. Titah itu berbunyi:

Yang pertama, beta putuskan mengambalikan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau kepada pihak Bugis, dan dengan itu beta akan melantik Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda. Sedangkan Yang Dipertuan Muda Tengku Muda Muhammad, akan dilantik menjadi Temenggung Riau. Kedua, anaknda Tengku Muda Muhammad, yaitu Tengku Buntat akan dikawinkan dengan putera beta, Tengku Long (Raja Husin, pen). Dan ketiga, beta sendiri, akan memperistrikan adinda Raja Hamidah” (hal. 180-181).

Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa ini adalah bahwa kekuasaan sedang beroperasi dalam suatu struktur hukum dan politik yang bertengger di telunjuk Sultan Mahmud. Dan pada saat yang sama, strategi-strategi juga bekerja dalam institusi dan mekanisme subordinasi sebuah ‘negara.’ Namun siapakah sesungguhnya yang diuntungkan oleh keputusan ini? Rupanya, kita sedang diajak oleh penulis novel ini menelisik ke dalam dominasi wacana kelompok/puak yang masing-masing hendak menunjukkan eksistensinya lewat kekuasaan. Pertelingkahan Bugis-Melayu nampak cukup mengambil porsi yang luas dalam novel ini. Tengoklah bagaimana Rida K Liamsi mendiskripsikan prediksi tentang strategi-strategi cerdik di balik keputusan Sultan Mahmud tersebut, sekaligus memberi gambaran tentang bagaimana politik kekuasaan dan kekuasaan politik dapat masuk ke dalam wilayah ‘seksualitas’. Bahwa intinya adalah pihak Bugis ‘dimenangkan’ oleh keputusan tersebut.

Pertama, pengangkatan Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda dapat “memadamkan kemarahan pihak Bugis yang merasa budi mereka selama ini akan dikesampingkan dan Sumpah Setia Melayu-Bugis akan dihapus. Artinya, jabatan Yang Dipertuan Muda kekallah di tangan keturunan Bugis” (hal. 178-179). Dan pada saat yang sama, pihak Melayu yang diberi jabatan Temenggung Riau, tetap dalam posisi ‘dirugikan’ karena berada di bawah setingkat dari Raja Muda, dan berarti di bawah dari keturunan Bugis. Kedua, perkawinan Sultan Mahmud dengan Raja Hamidah juga bermuatan politis. Orientasi Bugis adalah hendak menggapai kedudukan kekuasaan paling tinggi, yakni kursi Sultan Mahmud (yang selama ini diduduki oleh pihak Melayu). Keturunan dari Sultan Mahmud dan Hamidah inilah nanti yang paling berhak menggantikan Sultan Riau. Ketiga, yang dituju oleh pihak Bugis dari perjodohan Tengku Husin dengan Tengku Buntat adalah juga sebuah siasat jangka panjang untuk meraih kursi kekuasaan Sultan Riau. Yakni keturunan dari mereka inilah (yang berdarah Melayu-Bugis) yang kelak dapat menggantikan kedudukan Sultan.

Yang menarik dari fenomena ini bagi saya adalah tentang bagaimana wacana kekuasaan dapat dengan tegas dan leluasa masuk ke dalam wacana ‘seksualitas’ seperti yang saya singgung di atas. Ada paradigma tentang prosedur tubuh manusia sebagai entitas potensial dalam tubuh sosio-politik yang dapat beroperasi membentuk dan membangun wacananya sendiri. Sehingga muncul istilah ‘pekawinan politik’ di atas ranjang pengantin Melayu-Bugis. Bukan hal baru memang, sebab seolah sudah jadi soal klasik dalam kisah-kisah dalam dunia kerajaan kita. Namun, dari sini kita seolah dapat berkesimpulan (kembali) bahwa wacana ‘seksualitas’ menjadi medium laluan bagi wacana kekuasaan untuk menegaskan dirinya. Ada relasi yang saling menandaskan eksistensinya. Akan tetapi pada saat yang sama pula, paradigma pun bergeser, bahwa darah/kasta/keturunan/etnis menjadi superior dalam sistem kekuasaan, dan bahkan kemudian menjelma menjadi – apa yang disebut Michel Foucault[2] – sebagai “kekuasaan yang sesungguhnya.” Bagi Foucault, yang menjadi bagian dari teknik kekuasaan adalah diskriminasi, yang berarti menciptakan ketidaksamaan. Artinya, dari sana akan lahir bentuk-bentuk perlawanan. Perlawanan-perlawanan inilah yang menegelompokkan orang-orang ke dalam kategori-kategori identitas.

Artinya, ketika ada yang superior, maka ia dominan. Dominasi ini pada gilirannya dapat pula menggeser apa yang hakiki dari sebuah hubungan ‘seksualitas’ yang beralaskan ‘cinta’. Agak klise memang. Tapi karena sifat dari (kata) ‘cinta’ yang kerap ambigu dalam proses permaknaannya, maka kerap pula menimbulkan persepsi (juga perspektif) yang tidak tunggal. Dalam Bulang Cahaya, ‘cinta kuasa’ secara sekilas dapat mengalahkan ‘kuasa cinta’ dalam banyak hal. Cinta, tidak cukup berkuasa dalam mengatasi problem-problem kekuasaan yang menjadi batu-batu besar pengganjal. Dan terbukti sampai pada akhir kisah dalam novel ini pun, cinta Raja Djaafar dengan Tengku Buntat (dalam kotenks yang verbal) juga kandas.

Dengan begitu, bukan berarti saya sedang mengajak kita untuk meyakini bahwa novel ini harus berakhir happy-ending, barulah cinta beroleh kekuasannya secara mutlak. Tapi mari kita tengok bagaimana cinta juga tak ‘diperhitungkan’ dalam banyak kejadian di novel ini. Misalnya yang paling menonjol, bagi saya, adalah munculnya sebutan ‘istri anugerah.’ Istri anugerah adalah perempuan yang ‘diberikan’ kepada seorang lelaki (bangsawan) yang telah berjasa pada kerajaan (andai saja ini masih berlaku sampai sekarang, alangkah senangnya hati laki-laki, tapi siap-siaplah kena demo, he…). Yang hendak saya katakan di sini adalah bahwa bagaimana sesungguhnya posisi perempuan (yang serupa itu) dalam konstelasi hidup berkebudayaan di dunia feodalisme Melayu. Perempuan, dalam posisi semacam itu, jelas tak memiliki daya tawar (hak) apapun untuk menentukan pilihan bagi keberlangsungan hidupnya sebagai manusia. Ia (perempuan) bagai sebuah ‘barang mati’ yang dapat dengan mudah dimiliki. Ia (perempuan) seolah menjadi tempat singgah saja bagi tumbuhnya benih-benih kekuasaan dalam rahimnya. Meski, ada argumentasi filosofis sebagai pembelaan yang mengikutinya, misalnya: “perempuan (pada zaman itu) justru sangat bangga dan wajib berbahagia karena telah terpilih sebagai istri anugerah.”

Rida K Liamsi, saya kira, memang sedang mengajak kita untuk terus menggali paradigma-paradigma filosofis tentang realitas (faktual) yang tersaji dalam Bulang Cahaya. Karakter-karakter perempuan dalam novel ini lebih menunjukkan bahwa mereka tampak tak ‘berkuasa’ menghadapi tekanan-tekanan politis dari berbagai arah. Dan otomotis laki-laki lebih mendominasi. Bukan berarti pula kemudian para perempuan ini menerima begitu saja. Meski lebih terasa sekilas, seolah tersembunyi, perlawanan itu (sebagai sebuah wacana feminisme), mencuat juga dalam sejumlah tempat. Misalnya ketika ibu Raja Djaafar, Tengku Putih Bangsawan Johor, menceritakan prihal silsilah keluarga (termasuk istri-istri Ayahnya, Rajah Haji) pada Raja Djaafar, tersirat dalam sebuh narasi yang berbunyi begini, “Djaafar sempat melihat ibunya menerawang jauh. Memandang keluar tingkap Dalam Besar dan seakan-akan mengenang suatu peristiwa yang pedih dan pahit” (hal. 69-70). Dan lalu ditegaskan kembali dalam narasi pada paragraf berikutnya, “Raja Djaafar tersenyum sejenak, meskipun dia tahu, ketika bercerita itu, ibunya tampak getir. Mungkin cemburu” (hal. 70). Jelas, bahwa kata ‘cemburu’ di sini menyiratkan ketidak-berterimaan Tengku Putih atas istri-istri Raja Haji. Sekaligus menegaskan tentang sebuah perlawanan terselubung.

Pada bab lain, kita akan menemukan perlawanan terselubung itu tampak lebih mencuat. Yakni ketika Raja Djaafar mencoba menelusuri penyebab sakitnya Sultan Mahmud. Seorang tabib memprediksi bahwa selain karena Sultan diserang penyakit barah hati, Sultan juga termakan racun. Nah, soal racun inilah yang kemudian diduga membabitkan orang-orang terdekat istana, terutama bagian dapur. Raja Djaafar menduga bahwa kalau racun masuk dalam makanan, maka hanya permaisuri-permaisuri dan kepala-kepala dayang dan biduanda yang paling tahu. Raja Djaafar kemudian terbayang pada para permaisuri Sultan. Apakah Engku Puan Pahang dan Engku Puteri yang memang sedang berebut kasih Sultan dan keduanya tak dapat mewarisi putera mahkota. Sementara permaisuri yang dua lagi, seorang keturunan Bugis, seorang keturunan Melayu. Kedua permaisuri ini memiliki seorang putera. Maka ada indikasi mereka membidik kursi Sultan Riau Lingga. “Apakah racun itu karena perebutan cinta dan kuasa di ranjang baginda, atau perebutan kedudukan putera mahkota?” Gumam Raja Djaafar (hal. 264). Meski dalam novel ini dugaan tersebut hanya tersimpan menjadi dugaan semata, dan terkesan misterius, namun makna sebuah perlawanan di sini telah pun disuguhkan oleh penulis. Entah kemudian lebih memberi kesan tentang peliknya problematika kekuasaan dalam sebuah kerajaan, atau pun hendak menunjukkan peliknya juga problematika sebuah keluarga (dengan istri banyak).

Sosok utama yang kerap disebut dan sekaligus jadi cahaya di negeri Bulang dalam novel ini adalah Tengku Buntat. Karakter tokoh ini pada awalnya dapat diidentifikasikan sebagai sosok yang cukup keras dalam bersikap. Terutama ketika dia meluahkan amarah pada Raja Djaafar karena dia mengetahui tentang peristiwa perkelahian Raja Djaafar dengan Tengku Ilyas, anak Melayu yang juga tergila-gila dengan Buntat. Cobalah simak kalimat ini yang terkesan cukup ideologis:

Jangan hamba ini jadi barang taruhan. Apalagi sampai berbunuh-bunuhan. Kalau sampai begitu, tak satu pun yang dapat. Tidak juga Abang Djaafar. Apa hamba ini barang taruhan? Kepada siapa hamba ini memberikan hati dan cinta, tidak ditentukan oleh senjata dan kuasa. Tapi dari dalam diri ini. Tak dapat dipaksa. Kalau Abang Djaafar tak juga jadi sabar, dan menyelesaikan perseteruan dengan badik seperti perangai orang Bugis lainnya, tinggalkan Buntat sekarang. Buntat tak mau!” (hal. 43).

Namun, pada bab berikutnya, ketika Raja Djaafar memutuskan untuk kembali ke Riau, dan hendak menguatkan hatinya yang rawan terhadap cinta lamanya pada Tengku Buntat, Raja Djaafar justru berucap, “Beta tak mau berkawin dengan perempuan yang lembut, tak berani menentang, terlalu mudah menyerah. Beta tak mau mengingat lagi sifat Buntat. Lembut, pasrah, dan tak berani menempuh halangan” (hal. 200). Meski perkataan ini muncul ketika Raja Djaafar terkenang bagaimana naik pitamnya dia dulu ketika mendengar kabar Tengku Buntat kawin dengan Tengku Husin, akan tetapi kalimat ini mengandung pembenaran yang dapat merujuk pada kenyataan yang sebenarnya, yang memang dialami oleh dan terjadi atas Tengku Buntat.

Dan pada saat yang bersamaan pula, sosok perempuan lain muncul, yakni istri Raja Djaafar sendiri, Raja Lebar. Dalam sebuah narasi, Raja Lebar digambarkan sebagai perempuan yang memiliki perangai yang keras, tegar, dan tidak mudah menyerah. Karakter semacam ini, kemudian juga memunculkan tokoh perempuan lain bernama Ratu Mas. Ratu Mas adalah ibu tiri Raja Djaafar, putri Sultan Jambi. Di mata Raja Djaafar, ibu tirinya ini adalah wanita perkasa, salah seorang pahlawan perang Riau di Teluk Ketapang.

Wacana perlawanan tokoh-tokoh perempuan yang muncul dalam novel ini, hemat saya, masih tenggelam oleh wacana kekuasaan (yang didominasi laki-laki), sehingga si ‘Bulang Cahaya’ pun tidak tampak bercahaya dalam konteks tematik. Namun, agaknya pengarang memang sedang tidak mendudukkan keberpihakannya dalam wilayah yang semacam itu. Pengarang hendak mewartakan pada kita sebuah tafsir atas luka cinta, yang tak mampu mengartikulasikan bahasanya dalam dunia feodalisme kerajaan Melayu. Itulah realitas. Namun pengarang masih menyisihkan sebuah tempat yang lain, sebuah ruang yang tak berbatas, sebuah waktu yang tak bertepi, untuk cinta dapat bersemi. Tempat itu mungkin bernama humanisme-universal.

Terakhir, saya hendak mengatakan bahwa, novel Bulang Cahaya yang bergerak mengalir dalam struktur plot berbingkai yang filmis (bagai gambar-gambar dalam sebuah film) ini, dengan detil setting dan deskripsi suasana yang hidup, dengan bahasa yang sangat kuat pengaruh struktur bahasa Melayu, adalah sebuah novel yang romantis. Anda tak percaya? Coba saya kutipkan kalimat-kalimat berikut ini;

Saat-saat mereka bertemu, Djaafar kera mencuri pandang, dan membayangkan kejelitaan kekasihnya itu. Terkadang, saat jarinya meremas-remas pasir di bibir pantai, dirinya membayangkan sedang meremas-remas jari Buntat. Membayangkan dirinya menggosokkan bili-bilur pasir itu ke tubuh yan halus dan mulus itu. Lamunan Djaafar terkadang memang jauh melintasi pasir, melintasi pantai, menerobos jauh ke dalam hayal yang kadang tak terjangkau.”(hal. 126)

Dan, selamat membaca! Setelahnya, sejarah dunia Melayu akan lebih dekat dengan diri anda.***



[1] Pembahasan lebih detil tentang sejumlah contoh kitab di atas dapat dilihat juga dalam buku Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu karya Dr. Mahdini, M.A. (Yayasan Pusaka Riau, 2003).

[2] Majalah Basis edisi Januari-Februari 2002, menurunkan kupasan menarik tentang tokoh pemikir dan cendikiawan Prancis terkemuka abad ke 20 bernama Michel Foucault (1926-1984) ini. Lewat sejumlah pakar filsafat dan kebudayaan, karya-karya Foucault yang terkemuka dibahas dan diulas secara komprehensif dalam majalah tersebut. Salah satu wacana yang paling menonjol adalah tentang kekuasaan, pengetahuan, dan seksualitas (yang tak selalu terjebak dalam relasi-relasi negatif). Dalam konteks novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi ini, saya menemukan banyak fenomena yang berhubungan dengan kekuasaan dan seksualitas yang dapat dibongkar sebagai sebuah paradigma menarik dalam alam kebudayaan Melayu, yang selama ini belum banyak terkupas.

Seni(man) yang Terbelenggu

Oleh Marhalim Zaini


Untuk memulai tulisan ini, saya hendak mengutip satu paragraf penting dalam salah satu esai Putu Wijaya. Begini bunyinya, “Tidak mudah menjadi seniman, kalau seniman bukan diartikan sebagai sekadar label dan status, tetapi fungsi. Sebagai fungsional ia dituntut untuk bekerja. Bekerja tidak hanya kalau ia sedang bernafsu, ketika tanpa nafsu pun ia mesti berekspresi. Karena kalau tidak berkarya ia berarti tidak berfungsi. Seni bukan lagi kesenangan, meskipun bisa menyenangkan sekali. Seni adalah pencarian yang tak pernah selesai. Sebuah tugas yang tak bisa ditolak. Bahkan sebuah kutukan bagi dia yang tak bisa memilih lain kecuali jadi seniman.” (Bor, 1999).

Itu kata Putu Wijaya. Seorang pengkarya yang sangat produktif. Sosok seniman yang sejak SMP sudah menulis cerpen dan main teater. Dan sampai kini, ketika rambutnya sudah ditumbuhi uban dan kulit wajah mulai berkeriput pun masih dengan semangat berkarya. Terakhir ia sms saya, yang mengkhabarkan bahwa ia bersama Teater Mandiri-nya itu akan pentas monolog berjudul “Seratus Menit” di UNPAR, selasa, 29 mei 2007. Dan saya cuma bisa membalas sms, “Selamat Mas Putu. Masih tetap terus bergelora…” Sungguh, saya iri. Orang sebaya Putu Wijaya, yang telah kokoh menancapkan namanya di dunia seni, meraih berbagai penghargaan, menciptakan ratusan karya tulis yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa, masih terus bergelora dengan semangat tinggi melahirkan karya-karya. Dia hidup dalam dunia seni, dan dunia seni hidup dalam dirinya.

Dan Putu Wijaya, saya kira, adalah salah satu saja dari sejumlah seniman (di) Indonesia (dari yang tak banyak ini) yang terus-menerus bergulat dan merasa selalu kembali ke titik nol saat mulai masuk ke dalam proses kreatif penciptaan seni. Artinya, ada yang belum selesai dalam upaya menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam ranah seni kita. Ada ruang-ruang atau celah-celah yang menunggu direspon oleh seniman sebagai sosok manusia yang tidak dengan mudah menerima realitas (kenyataan) begitu saja, sebelum ia menemukan harapan-harapan lain di sebaliknya. Harapan-harapan lain itu adalah pencerahan. Adalah sebuah kondisi di mana kenyatan-kenyataan lain dapat tumbuh sebagai benih-benih imajinasi. Benih-benih inilah kemudian yang berkeliaran ke rahim-rahim kreatif. Ia bersetubuh. Dan selalu, persetubuhan adalah sebuah kenikmatan yang kerap tak dapat kita maknai dengan terang dan jelas bentuknya. Ia terasa ada, meski tampak tiada. Maka kelahiran agaknya bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam proses berkesenian. Sebab ia, dengan segera, dan secepatnya, akan “menolak” dan melihat sesuatu yang lahir itu berjalan pergi, menjauh, meninggalkan sang rahim. Ia berkelana ke mana pun, sampai ia menemui ajalnya sendiri. Penolakan ini, adalah semacam posisi yang sengaja diambil oleh seniman. Sebab, kata Van Gogh, “kita tidak boleh menilai Tuhan berdasar dunia ini. Dunia ini adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.”

Konsepsi filosofis perjalanan kreatif seorang seniman semacam itu boleh jadi hanya dimiliki oleh mereka yang bersepakat dengan Albert Camus, bahwa “……” Perjuangan dalam konteks tulisan ini merujuk pada sebuah fenomena “kekacauan paradigma” kita terhadap sosok seniman yang kerap hadir dalam wilayah yang (seolah) sangat sulit diidentifikasi. Kekacauan ini kelak menimbulkan ekses yang bias dalam persepsi publik. Hingga bermuara pada labilnya eksistensi seniman di mata publik dan negara. Menyebut ‘negara’ dalam konteks ini, adalah mengacu kepada posisi ‘kekuasaan” yang sempat merecoki ingatan kita tentang wacana represif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ada trauma yang membekas bagai barut luka di tubuh kesenian kita, mulai dari pelarangan pentas seni dan penerbitan buku sastra, sampai pada penangkapan dan penculikan para aktivis kesenian.

Akan tetapi, catatlah. Bahwa seniman-seniman yang ‘terbelenggu” oleh kekuasaan di zaman itu, justru dengan tegas dan jelas menggaungkan karya-karya mereka ke tengah publik. Pramudya Ananta Toer (terlepas dari soal politis yang membabitkan namanya) sejak masa penjajahan sampai rezim Orde Baru yang membuang dan memenjarakannya, justru tak henti-hentinya melahirkan karya sampai akhir hayatnya. Rendra dan Nano Riantiarno bersama Teater Koma-nya, termasuklah juga Putu Wijaya, berulangkali dicekal dalam pembacaan sajak-sajak juga pementasan teaternya. Wiji Thukul, sang penyair buruh itu, tiba-tiba lenyap seperti ditelan pantai laut selatan, gara-gara sajak-sajaknya yang kritis terhadap pemerintah. Dan tentu banyak lagi contoh, yang menceritakan bagaimana sesungguhnya kondisi represif itu justru dapat mencuatkan sejumlah nama dalam dunia seni kita. Meski, satu problem lain juga muncul, bahwa tak sedikit juga “seniman” yang berteriak dan meratap tentang kebebasan dan kemerdekaan. Mereka merasa terpasung kreativitasnya, merasa terpenjara, terbelenggu, dan merasa tak berdaya untuk berkarya.

Lalu, datanglah sebuah masa di mana kemerdekaan dan kebebasan yang diratapi dulu itu tersaji di hadapan mata para seniman. Dunia seolah kini tampak telanjang tanpa pakaian. Sebuah dunia yang bebas-lepas, simpang siur dalam lintasan peristiwa yang mengejutkan. Di zaman serupa ini, tentu saja bagai bentangan surga bagi dunia kreativitas yang identik dengan “ketidak-terbatasan.” Namun, apa kenyataannya? Apakah dengan demikian maka para seniman melahirkan karya-karya bermutu, menonjol, keluar dari batas-batas konvensi seni dan melompat ke dunia eksploratif yang lebih liar? Apakah dengan demikian, komunitas-komunitas seni kian tumbuh dan berdialektika menggagas berbagai wacana seni, dan menghadirkan gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih luas? Hemat saya, setakat ini, tidak.

Malah yang tampak seperti ada belenggu-belenggu baru yang mengungkung proses berkesenian kita. Belenggu-belenggu itu menjelma dalam wujudnya yang lain, berupa “kebebasan” itu sendiri. Sebab rupanya, kita memang belum siap untuk dengan kritis dan kreatif memaknai kebebasan yang mengglobal ini. Kegamangan pun masuk dalam bentuk-bentuk kesenian yang kita produksi. Dunia kapitalisme yang sejak lama mengambil porsi teramat besar dalam konstelasi berkehidupan kita kini bahkan seolah menemukan signifikansinya yang lebih terbuka dan konkret. Hingga ia pun kemudian ikut masuk dalam rumah-rumah kecil individu-individu para seniman. Tersebab ia selalu dan terlalu menggoda, maka sungguh sulit untuk sesiapa pun dapat menepisnya. Godaan-godaan ini kemudian menjelma jadi salah satu bentuk keterbelengguan yang lain pula.

Negara, pada situasi kini, memang sangat terbuka dan tak secara gamblang mencengkeramkan tangan-tangan kuasanya pada kreativitas seniman. Negara, tampak lebih arif dan seolah hendak bergandengan tangan degan seniman, termasuk support material yang disuguhkan. Namun agaknya harus dilihat juga, bahwa ‘kebaikan’ negara ini pada titik tertentu, rupanya membangkitkan satu ‘keterbelengguan’ yang baru pula bagi seniman. Dapatlah kita tengok dan dengar, bahwa masih saja ada yang mengeluhkan tentang ketiadaan dana untuk memulai sebuah kreativitas seni. Persepsi semacam ini seolah menggiring sebuah sikap berkesenian yang manja dan menyederhanakan proses kreatif penciptaan seni hanya pada ketersediaan dana. Anehnya, begitu dana tersedia demikian layak bahkan lebih dari layak, seniman malah masuk kembali dalam belenggu pragmatisme, memosisikan diri sebagai sekedar aktivisme, bahkan kemudian ikut ‘menyederhanakan’ ke(seni)an dalam kamuflase-kamuflase. Dan ketika perahu kesenian telah merapat dekat dengan pelabuhan negara, maka pada saat yang bersamaan, sebuah proses intervensi sedang bekerja di balik layar. Ketika proses intervensi ini kemudian diam-diam menemukan signal yang kuat, seniman lagi-lagi akan masuk ke dalam belenggu-belenggu baru pula.

Dapatkah seniman keluar dari belenggu-belenggu ini? Hemat saya, jawabannya adalah “pemberontakan.” Meski saya cukup kuatir menyebut kata ‘pemberontakan’ ini, sebab ia telah demikian negatif dalam minda kita, karena ia memang pernah dikambing-hitamkan oleh dunia politik sebagai yang subversif, sebagai “penjahat’. Padahal, dunia seniman, dunia kreativitas, rasa-rasanya tak mungkin untuk dipisahkan dengan kata pemberontakan. Sebab setiap karya yang lahir adalah hasil dari proses pemberontakan seniman terhadap realitas, terhadap ‘kemapanan’, terhadap tatanan status quo yang dianggap usang. Bukankah sebuah hipotesis pernah bilang bahwa “kreativitas dan pemberontakan tidak lain adalah gerak alam raya itu sendiri, keduanya adalah esensi dari kehidupan.”

Dan entah apa jadinya, kalau sikap dan tindak pemberontakan tak ada dalam diri mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman. Mungkin saja kita hanya akan menyaksikan ke(seni)an kita terus menerus berada dalam belenggu jiwa-jiwa konvensional, dalam belenggu elitisme budaya. Maka izinkanlah saya, untuk menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf penting lainnya dari esai Putu Wijaya, “seniman yang malas, yang tidak kreatif, mungkin benar akan menjadi mati rasa dalam pembebasannya. Ia menjadi mandul. Tetapi seniman yang kreatif tidak akan mau masuk lubang kubur macam itu, bahkan ketika ia mati pun, karya-karyanya masih bersuara lantang. Ia akan senantiasa berjuang. Karena kesenian adalah perjuangan, bukan kesenangan.”***

Kamis, 15 November 2007

Catatan Sastra Riau 2005

Oleh Marhalim Zaini

Membuat sebuah catatan, memang mengandung sejumlah resiko. Resiko yang paling besar biasanya datang dari ‘hasil catatan’ itu sendiri yang kurang komprehensif, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pembaca. Namun, sebuah catatan bisa jadi hanya dianggap sebagai hasil dari sebentuk ‘pembacaan lepas’ dari seseorang yang secara kebetulan memiliki perhatian khusus terhadap bidang tertentu. Meski demikian, sesungguhnya sebuah catatan (seringan apapun), acapkali dibutuhkan sebagai bahan untuk menengok, lalu mengkomparasikan, dan kemudian melakukan ‘timbangan-timbangan’ untuk menakar kadar ‘bobot’ yang ada dalam obyek tersebut.

Catatan yang akan saya paparkan berikut ini, bisa jadi hanya sebentuk catatan ringan tentang perjalanan dan (mungkin) perkembangan sastra (di) Riau selama tahun 2005. Hal tersulit, sebelum saya memutuskan untuk membuat catatan ini adalah, ketika hendak duduk sebagai seorang pembaca yang obyektif, lantas memaparkan sejumlah argumentasi, dan melakukan penilaian-penilaian. Kesulitannya, karena posisi saya yang juga sebagai seorang kreator (penulis/pengarang), yang terkadang (dikuatirkan) akan ‘bias’ pembacaannya dengan ‘selera’ karya-karya sendiri.

Memang di Indonesia kita punya kritikus sastra handal yang juga sekaligus seorang penulis seperti Budi Darma atau Sapardi Djoko Damono. Tapi, seorang otodidak macam saya tentu saja belum berani duduk dalam kapasitas itu. Sapardi, jelas seorang Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Budi Darma adalah Guru Besar di FPBS Universitas Negeri Surabaya. Mestinya memang, ada banyak akademisi (sarjana) sastra Riau—yang lahir dari bangku-bangku perkuliahan sastra di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi di Riau—yang dengan intens melakukan pembacaan-pembacaan terhadap karya sastra penulis Riau. Mungkin lebih aman juga kalau mau mengambil posisi macam kritikus Maman S Mahayana, Faruk HT, Ignas Kleden, Nirwan Dewanto, Melani Budianta, Riris K Toha Sarumpaet, dan banyak nama lain. Maka dengan pertimbangan semacam itu, saya hanya membuat sebuah catatan kuantitatif (dengan sejumlah data), dan tidak melakukan catatan kualitatif (yang menakar tentang capaian-capaian), tapi di samping itu izinkanlah saya menyampaikan apresiasi-apresiasi.

Produktivitas dan Prestasi Sastra

Hary B Koriun dalam catatan kebudayaannya di media ini (Ahad, 8 Januari 2006), telah pun melakukan pencatatan sejumlah perkembangan dan peristiwa sastra tahun 2005. Di antaranya, di dunia penerbitan buku sastra, menurut Hary, “terlihat mengalami progres yang baik dan mendapat tempat bukan hanya di Riau tapi juga di tingkat nasional.” Untuk sebuah optimisme, kita patut mendukungnya. Meski menurut hemat saya, buku-buku sastra yang terbit tahun 2005 itu (seperti yang telah disebut dalam catatan Hary, dan rasanya tak perlu saya sebutkan kembali), masih lahir dari para penulis Riau yang telah cukup lama bergelut di dunia kepenulisan (seperti Hasan Junus, Taufik Ikram Jamil, dan Fakhrunnas MA Jabbar), sehingga memang telah sejak lama pula ‘mendapat tempat’ di tingkat yang lebih luas. Sementara buku-buku dari penulis lain, hanya buku Nyanyian Batanghari karya Hary B Koriun dan novel Gadis Kunang-kunang karya Olyrinson (yang luput disebut Hary), yang tampaknya cukup terdistribusi dengan baik.

Dari angka penerbitan buku sastra yang tak seberapa itu, apakah kemudian bisa memperlihatkan perkembangan sastra di daerah ini? Saya justru dapat melihat perkembangan sastra kita dari buku-buku kumpulan karya pilihan Riau Pos yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang setiap tahunnya. Tradisi penerbitan buku kumpulan karya ini secara tidak langsung memperlihatkan produktivitas para penulis di daerah ini. Meski memang terlampau sempit untuk menakar produktivitas sastra hanya dari sebuah ruang budaya di Harian Riau Pos yang terbit tiap hari minggu itu, namun paling tidak, ada yang dapat kita catat dari hasil pergulatan sastra selama satu tahun. Tengoklah dari tahun ke tahun, buku kumpulan karya pilihan Riau Pos itu, selalu memberi warna dalam konstelasi sastra (di) Riau. Meski sisi kelemahannya adalah, tidak adanya ulasan-ulasan (atau kritik sastra yang representatif) yang mengiringi terbitnya buku tersebut (seperti halnya Penerbit Kompas dengan buku Cerpen Pilihan Kompas-nya). Ini satu hal teramat penting, yang mungkin tak sempat jadi perhatian kita bersama.

Harus kita akui, selain buku, media sastra seperti koran dan majalah adalah lahan subur tumbuh-kembangnya sastra modern Indonesia. Dan sejak tahun 1993, saat Sapardi membuat catatan sastra-nya (Republika, 24 Desember 1993), sampai kini di akhir tahun 2005, media massa cetak yang merupakan bagian sangat penting dari kebudayaan populer kita, masih menjadi media yang efektif untuk mempublikasikan sekaligus mensosialisasikan sastra ke ruang baca publik yang lebih luas. Hampir semua penulis-penulis besar di Indonesia (bahkan di dunia), dalam proses kepenulisannya, mengirimkan karya-karya ke media massa.

Tapi, marilah kita lihat sejumlah catatan tentang pemuatan karya-karya penulis Riau di media massa yang sempat saya catat selama tahun 2005 ini.

Di sejumlah media lokal semacam Riau Pos, Riau Mandiri, Riau Tribune, Majalah Sagang, Majalah Seni Berdaulat, dan luar Riau semacam Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung) dan Sumut Pos, nama-nama penulis seperti Pandapotan MT Siallagan, Sobirin Zaini, M. Badri, dan Marhalim Zaini, menduduki ‘peringkat’ teratas untuk 10 sampai 15 kali pemuatan. Sementara untuk ‘peringkat’ di bawahnya (antara 3 sampai 5 kali pemuatan) di media lokal Riau, dapat dicatat nama-nama penulis berikut (tanpa spesifikasi usia): Musa Ismail, Fitrimayani, Fakhrunnas MA Jabbar, Armansyah, Edy Ahmad RM, Dedi Yusri, Hary B Koriun, Olyrinson, Syaiful Bahri, Hang Kafrawi, Elly Zan Katan, Binoto H Balian, TM Yusuf, dan Jefri Al Malay.

Kemudian untuk sekali-dua karya-karya penulis Riau yang muncul di media selama tahun 2005 adalah: Nyoto, Eka PN, Aliela, Adinda Hafizah, Fedli Aziz, Roza Muliati, Akmal Famajra, Nandik Suparyono, Bubun Bunyamin, Ramon Damora, Saidul Tombang, Murparsaulian, Jon Lis Effendi, Gde Agung Lontar, Suhendri, Sahrul Tombang, Fariz Ihsan Putra, Sei Gergaji, Dien Zhurindah, Alang Rizal, Yoesrizal Zen, Evi Erlinda, Muhalib, Abel Tasman, Rosman, Budi Utamy, dan Asrizal Nur.

Sementara untuk media nasional, penulis-penulis Riau yang tampak masih rajin adalah Marhalim Zaini (Media Indonesia (2 kali), Majalah Sastra Horison (2 kali), Koran Tempo (2 kali), Kompas, dan Jawa Pos), kemudian Fakhrunnas MA Jabbar (Media Indonesia dan Kompas), dan Taufik Ikram Jamil (Republika dan Jurnal Cerpen).

Dari sejumlah penulis di atas, ada muncul seorang penulis berusia remaja dan masih duduk di bangku SMAN Plus Riau, bernama Fariz Ihsan Putra. Cerpen-cerpennya juga sempat terhimpun dalam buku Seikat Dongeng Tentang Wanita dan Satu Abad Cerpen Riau. Hemat saya, potensi dan bakat besar yang tampak dalam karya-karyanya, cukup memberi harapan baru dalam regenerasi sastra Riau. Selain itu, hal yang cukup menarik adalah munculnya para penerjemah sastra. Semisal Murparsaulian, Roza Muliati, Gde Agung Lontar, Zuarman Ahmad, Evi Erlinda, dan Armansyah. Di antara nama-nama tersebut, Armansyah cukup produktif melakukan upaya penerjemahan karya sastra Timur Tengah. Paling tidak, kita bisa berkata, inilah para penerjemah penerus Hasan Junus.

Selama tahun 2005 pula, dapat dicatat sejumlah prestasi yang telah diraih oleh sejumlah penulis Riau. Seperti Olyrinson yang meraih juara II Sayembara Menulis Novel Forum Lingkar Pena, Juara III Mengarang Cerpen Krakatau Award Dewan Kesenian Lampung, lalu juara harapan Menulis Cerpen Dewan Kesenian Riau, juara harapan Menulis Cerbung Femina, dan nominator cerpen CWI 2005. Selain Oly, ada Abel Tasman yang meraih juara harapan I dalam Lomba Mengulas Karya Sastra yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan penerima Anugerah Seni Tradisi dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau. Kemudian Hary B Koriun yang meraih Anugerah Ganti untuk novelnya Nyanyi Sunyi dari Indragiri, lalu novel remajanya berjudul Jejak Hujan masuk 10 besar Sayembara Menulis Novel Remaja yang diselenggarakan oleh Grasindo dan Radio Nedherland Suara Indonesia. Selain itu, Marhalim Zaini raih Pemenang Penghargaan I dalam Sayembara Novel Dar Mizan 2005, Juara II untuk Puisi dan Cerpen (tingkat Nasional) dalam Laman Cipta Sastra DKR, dan naskah skenarionya berjudul ‘Dongeng Negeri Siti’ masuk dalam 10 Naskah Pilihan Sayembara Menulis Skenario Film Cerita yang diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Dirjen. Perfilman Nasional, dan terakhir Marhalim juga diundang dalam Bintan Art Festival di Tanjung Pinang, dan sebuah iven sastra Internasional yang ditaja oleh Komunitas Utan Kayu bertajuk International Literary Biennale 2005 yang digelar di Bandung, Lampung, dan Jakarta.

Selain sejumlah prestasi di atas, boleh jadi juga masih ada sejumlah penulis Riau yang meraih penghargaan sastra, namun tak tertangkap dalam ‘radar’ pembacaan saya. Dan dari paparan produktivitas yang diperkuat dengan sejumlah prestasi, barangkali tak terlampau sulit untuk kemudian membuat semacam pemetaan sastra di Riau.

Wacana dan Peristiwa Sastra

Seorang pengamat sastra lulusan sebuah universitas di Leiden, Sudarmoko, pernah menulis di media ini berjudul “Komunitas dan Perkembangan Sastra Kita.” Ia mencermati fenomena munculnya beragam komunitas sastra di daerah-daerah, yang kemudian cukup memberi kontribusi dalam khazanah sastra, baik dalam pemikiran maupun terlahirnya para penulis-penulis baru. Namun, saya kira, tidak untuk Riau. Sepanjang tahun 2005, komunitas sastra boleh dikata tidak muncul, kecuali Senapelan Writer Assosation (sehabis menerbitkan buku kumpulan sajak Belantara Kata, kini tampak diam) dan Majelis Jumat (sebuah komunitas lepas dan sebuah forum diskusi sastra bulanan).

Majelis Jumat yang digerakkan Marhalim Zaini dan dinaungi Yayasan Pusaka Riau, mungkin bukanlah sebuah wadah ideal untuk melahirkan wacana-wacana besar dan penulis-penulis baru. Namun, sebagai sebuah gerakan budaya, saya kira, ia patut dicatat.

Tema-tema yang diangkat dalam Majelis Jumat selama setahun (terhitung September 2004 s/d September 2005) adalah Apa Kabar Sastra Riau (pembicara Sy Bahri Judin), Proses Kreatif Pengkarya (pembicara Goenawan Mohamad dan Chaidir), Bedah Buku ‘Langgam Negeri Puisi’ karya Marhalim Zaini (Pembicara Maman S Mahayana), Strategi Sastra Riau (pembicara Taufik Ikram Jamil), Satu Abad Sastra Riau (pembicara Fakhrunnas MA Jabbar dan Sutrianto), Sastra dan Media Massa (pembicara Hary B Koriun dan Fitrimayani), Bedah Novel ‘Jalan Menurun’ karya Olyrinson (pembicara Abel Tasman), Fenomena Sastra Perempuan (Pembicara Essy Syam), dan Membaca Sastra Remaja (pembicara Hang Kafrawi). Setelah tema terakhir ini, Majelis Jumat kemudian membentuk Rumah Sastra Siswa (RSS), yang sampai kini tetap aktif mengadakan diskusi karya dengan sejumlah siswa di Pekanbaru.

Di antara tema-tema di atas, yang kemudian mencuat dan sempat menjadi polemik di Riau Pos adalah tema “Sastra dan Media Massa” yang dilemparkan oleh Hary B Koriun, dan kemudian ditanggapi oleh Marhalim Zaini, Pandapotan MT Siallagan, dan M. Badri. Sebagian polemik termaktub dalam buku Tafsir Luka (Yayasan Sagang, 2005). Wacana lain yang cukup mencuat adalah “Satu Abad Cerpen Riau” dan “Fenomena Sastra Perempuan.” Untuk tema terakhir, Adinda Hafizah merespon dengan tulisannya berjudul “Perempuan Pengarang di Riau Hanya Sebagai Penonton?, yang kemudian ditanggapi oleh Marhalim Zaini dengan “Bukan Memperbincangkan Kelamin Sastra.” Dan terakhir polemik ringan juga terjadi antara Marhalim Zaini dan Sudarmoko tentang wacana “Pembaca-yang-tak-bersih.”

Di akhir tahun 2005, sebuah peristiwa sastra ‘nasional’ yang mengusung wacana lokalitas juga digelar di kota Bertuah ini. Sebagaimana yang juga telah dipaparkan oleh Hary dalam catatannya, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) yang dihadiri oleh para pembicara dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia ini, rupanya cukup memberi kontribusi yang signifikan bagi menengok arah perkembangan sastra (terkhusus cerpen) di Riau. Wacana lokalitas dalam cerpen-cerpen penulis Riau-lah sesungguhnya yang memberi laluan bagi sebuah wacana besar yang selama ini didengung-dengungkan, yakni Mazhab Riau. Hemat saya, kehadiran para kritikus sastra macam Budi Darma, Melani Budianta, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, Abdul Hadi WM, Agus R Sarjono, Ahmadun Y Herfanda dan juga para penulis handal macam Ahmad Tohari, Joni Ariadinata, Gus TF Sakai, dan lain sebagainya, cukup menjadi sebuah legitimasi kreatif, bahwa di negeri ‘gerah’ ini juga masih terhimpun para penulis-penulis yang dengan gigih memeperjuangkan ‘ideologi sastra’-nya yang kelak dapat mengisi ruang-ruang kebudayaan Nusantara.

Ada baiknya di tahun ini, wacana-wacana sastra juga berkembang dalam komunitas-komunitas sastra di Riau. Tumbuhnya wacana-wacana ini sesungguhnya dapat memperkuat eksistensi sastra di wilayah publik. Sehingga sastra tidak hanya berdiri di menara gading, akan tetapi melakukan upaya pembangunan jaringan sastra di tingkat yang paling bawah. Tertangkap-basahnya para plagiat di tahun 2005, juga mengindikasikan counter masyarakat pembaca kita sudah mulai meningkat. Artinya, diam-diam sudah ‘ada yang jalan’ dalam lorong-lorong sunyi kebudayaan kita, meski sangat-sangat perlahan.

Ulasan Sastra

Tak dapat dipungkiri, bahwa sesungguhnya kita sedang sangat merindukan hadirnya para ‘pengulas sastra’ (baca: kritikus sastra) dalam konstelasi sastra di Riau. Betapapun pahitnya sebuah kritik, hasil dari sebuah pembacaan kritis justru membuat karya-karya yang dihasilkan tak kehilangan ‘pegangan.’ Karya-karya tersebut kemudian dapat hadir dengan wajahnya yang cemerlang dan penuh ‘ketakterdugaan.’ Kita tentu tak menafikan bahwa memang ada sejumlah pengulas sastra kita yang mumpuni, namun barangkali untuk tahun 2005, kita belum membaca hasil ulasan mereka.

Tapi baiklah, sejumlah ulasan sebenarnya dapat kita temui justru lebih banyak dari para pengulas dari luar Riau. Maman S Mahayana misalnya, terakhir mengulas karya puisi Asrizal Nur dalam kata pengantarnya untuk buku antologi puisi berjudul Perlawanan Orang Kotak Debu (Riau Pos, 23 Oktober 2005). Sebelumnya, Maman juga mengulas puisi Marhalim Zaini yang tergabung dalam antologi Langgam Negeri Puisi, yang kemudian dikirim dalam berbagai versi ke tiga media berbeda (Riau Pos, Republika, dan Majalah Horison). Seorang pengulas sastra dari Lampung Oyos Saroso HN juga melakukan pembacaan terhadap puisi Marhalim Zaini dalam tulisannya berjudul “Puisi Indonesia dan Teosentris-Antroposentris Terbelah” (Media Indonesia, 12 Juni 2005). Lalu dapat juga kita baca ulasan dari Wannofri Samry terhadap novel Hary B Koriun berjudul Nyanyian Batanghari (Riau Pos, 9 Oktober 2005). Selain itu, dari penulis Riau kita temukan sejumlah ulasan sastra, seperti Fakhrunnas MA Jabbar yang mengulas karya-karya Idrus Tintin (Riau Pos, 7 Agustus 2005), atau Rosman H yang mengulas cerpen Hang Kafrawi (Majalah Seni Berdaulat, XIII, 2005), atau Griven H Putra yang mendedahkan buku Republik Jangkrik karya Abel Tasman (Majalah Seni Berdaulat, XIV, 2005).

***

Saya kira, di tahun-tahun mendatang, hal yang perlu dilakukan adalah mengisi kekosongan-kekosongan yang masih demikian tampak dalam peta sastra kita. Produktivitas barangkali bukanlah menjadi soal yang krusial jika targetnya hanya semata absensi ‘kehadiran’ dan tidak melakukan upaya penggalian esetetika. Namun, produktivitas kadangkala bisa menjadi tonggak awal bagi proses berikutnya, terutama untuk menengok ‘jarak tempuh’ perjalanan kreatif seorang penulis. Di samping itu, ada baiknya mengatur sejumlah strategi, dengan membangun jaringan publikasi terluas, membangun komunitas-komunitas dan menelurkan wacana-wacana sastra, serta dengan perlahan-lahan membangun tradisi baru sastra Riau yang lebih kondusif, kreatif-inovatif. Tabik, sastra Riau!***