Sabtu, 17 November 2007

Seni(man) yang Terbelenggu

Oleh Marhalim Zaini


Untuk memulai tulisan ini, saya hendak mengutip satu paragraf penting dalam salah satu esai Putu Wijaya. Begini bunyinya, “Tidak mudah menjadi seniman, kalau seniman bukan diartikan sebagai sekadar label dan status, tetapi fungsi. Sebagai fungsional ia dituntut untuk bekerja. Bekerja tidak hanya kalau ia sedang bernafsu, ketika tanpa nafsu pun ia mesti berekspresi. Karena kalau tidak berkarya ia berarti tidak berfungsi. Seni bukan lagi kesenangan, meskipun bisa menyenangkan sekali. Seni adalah pencarian yang tak pernah selesai. Sebuah tugas yang tak bisa ditolak. Bahkan sebuah kutukan bagi dia yang tak bisa memilih lain kecuali jadi seniman.” (Bor, 1999).

Itu kata Putu Wijaya. Seorang pengkarya yang sangat produktif. Sosok seniman yang sejak SMP sudah menulis cerpen dan main teater. Dan sampai kini, ketika rambutnya sudah ditumbuhi uban dan kulit wajah mulai berkeriput pun masih dengan semangat berkarya. Terakhir ia sms saya, yang mengkhabarkan bahwa ia bersama Teater Mandiri-nya itu akan pentas monolog berjudul “Seratus Menit” di UNPAR, selasa, 29 mei 2007. Dan saya cuma bisa membalas sms, “Selamat Mas Putu. Masih tetap terus bergelora…” Sungguh, saya iri. Orang sebaya Putu Wijaya, yang telah kokoh menancapkan namanya di dunia seni, meraih berbagai penghargaan, menciptakan ratusan karya tulis yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa, masih terus bergelora dengan semangat tinggi melahirkan karya-karya. Dia hidup dalam dunia seni, dan dunia seni hidup dalam dirinya.

Dan Putu Wijaya, saya kira, adalah salah satu saja dari sejumlah seniman (di) Indonesia (dari yang tak banyak ini) yang terus-menerus bergulat dan merasa selalu kembali ke titik nol saat mulai masuk ke dalam proses kreatif penciptaan seni. Artinya, ada yang belum selesai dalam upaya menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam ranah seni kita. Ada ruang-ruang atau celah-celah yang menunggu direspon oleh seniman sebagai sosok manusia yang tidak dengan mudah menerima realitas (kenyataan) begitu saja, sebelum ia menemukan harapan-harapan lain di sebaliknya. Harapan-harapan lain itu adalah pencerahan. Adalah sebuah kondisi di mana kenyatan-kenyataan lain dapat tumbuh sebagai benih-benih imajinasi. Benih-benih inilah kemudian yang berkeliaran ke rahim-rahim kreatif. Ia bersetubuh. Dan selalu, persetubuhan adalah sebuah kenikmatan yang kerap tak dapat kita maknai dengan terang dan jelas bentuknya. Ia terasa ada, meski tampak tiada. Maka kelahiran agaknya bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam proses berkesenian. Sebab ia, dengan segera, dan secepatnya, akan “menolak” dan melihat sesuatu yang lahir itu berjalan pergi, menjauh, meninggalkan sang rahim. Ia berkelana ke mana pun, sampai ia menemui ajalnya sendiri. Penolakan ini, adalah semacam posisi yang sengaja diambil oleh seniman. Sebab, kata Van Gogh, “kita tidak boleh menilai Tuhan berdasar dunia ini. Dunia ini adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.”

Konsepsi filosofis perjalanan kreatif seorang seniman semacam itu boleh jadi hanya dimiliki oleh mereka yang bersepakat dengan Albert Camus, bahwa “……” Perjuangan dalam konteks tulisan ini merujuk pada sebuah fenomena “kekacauan paradigma” kita terhadap sosok seniman yang kerap hadir dalam wilayah yang (seolah) sangat sulit diidentifikasi. Kekacauan ini kelak menimbulkan ekses yang bias dalam persepsi publik. Hingga bermuara pada labilnya eksistensi seniman di mata publik dan negara. Menyebut ‘negara’ dalam konteks ini, adalah mengacu kepada posisi ‘kekuasaan” yang sempat merecoki ingatan kita tentang wacana represif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ada trauma yang membekas bagai barut luka di tubuh kesenian kita, mulai dari pelarangan pentas seni dan penerbitan buku sastra, sampai pada penangkapan dan penculikan para aktivis kesenian.

Akan tetapi, catatlah. Bahwa seniman-seniman yang ‘terbelenggu” oleh kekuasaan di zaman itu, justru dengan tegas dan jelas menggaungkan karya-karya mereka ke tengah publik. Pramudya Ananta Toer (terlepas dari soal politis yang membabitkan namanya) sejak masa penjajahan sampai rezim Orde Baru yang membuang dan memenjarakannya, justru tak henti-hentinya melahirkan karya sampai akhir hayatnya. Rendra dan Nano Riantiarno bersama Teater Koma-nya, termasuklah juga Putu Wijaya, berulangkali dicekal dalam pembacaan sajak-sajak juga pementasan teaternya. Wiji Thukul, sang penyair buruh itu, tiba-tiba lenyap seperti ditelan pantai laut selatan, gara-gara sajak-sajaknya yang kritis terhadap pemerintah. Dan tentu banyak lagi contoh, yang menceritakan bagaimana sesungguhnya kondisi represif itu justru dapat mencuatkan sejumlah nama dalam dunia seni kita. Meski, satu problem lain juga muncul, bahwa tak sedikit juga “seniman” yang berteriak dan meratap tentang kebebasan dan kemerdekaan. Mereka merasa terpasung kreativitasnya, merasa terpenjara, terbelenggu, dan merasa tak berdaya untuk berkarya.

Lalu, datanglah sebuah masa di mana kemerdekaan dan kebebasan yang diratapi dulu itu tersaji di hadapan mata para seniman. Dunia seolah kini tampak telanjang tanpa pakaian. Sebuah dunia yang bebas-lepas, simpang siur dalam lintasan peristiwa yang mengejutkan. Di zaman serupa ini, tentu saja bagai bentangan surga bagi dunia kreativitas yang identik dengan “ketidak-terbatasan.” Namun, apa kenyataannya? Apakah dengan demikian maka para seniman melahirkan karya-karya bermutu, menonjol, keluar dari batas-batas konvensi seni dan melompat ke dunia eksploratif yang lebih liar? Apakah dengan demikian, komunitas-komunitas seni kian tumbuh dan berdialektika menggagas berbagai wacana seni, dan menghadirkan gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih luas? Hemat saya, setakat ini, tidak.

Malah yang tampak seperti ada belenggu-belenggu baru yang mengungkung proses berkesenian kita. Belenggu-belenggu itu menjelma dalam wujudnya yang lain, berupa “kebebasan” itu sendiri. Sebab rupanya, kita memang belum siap untuk dengan kritis dan kreatif memaknai kebebasan yang mengglobal ini. Kegamangan pun masuk dalam bentuk-bentuk kesenian yang kita produksi. Dunia kapitalisme yang sejak lama mengambil porsi teramat besar dalam konstelasi berkehidupan kita kini bahkan seolah menemukan signifikansinya yang lebih terbuka dan konkret. Hingga ia pun kemudian ikut masuk dalam rumah-rumah kecil individu-individu para seniman. Tersebab ia selalu dan terlalu menggoda, maka sungguh sulit untuk sesiapa pun dapat menepisnya. Godaan-godaan ini kemudian menjelma jadi salah satu bentuk keterbelengguan yang lain pula.

Negara, pada situasi kini, memang sangat terbuka dan tak secara gamblang mencengkeramkan tangan-tangan kuasanya pada kreativitas seniman. Negara, tampak lebih arif dan seolah hendak bergandengan tangan degan seniman, termasuk support material yang disuguhkan. Namun agaknya harus dilihat juga, bahwa ‘kebaikan’ negara ini pada titik tertentu, rupanya membangkitkan satu ‘keterbelengguan’ yang baru pula bagi seniman. Dapatlah kita tengok dan dengar, bahwa masih saja ada yang mengeluhkan tentang ketiadaan dana untuk memulai sebuah kreativitas seni. Persepsi semacam ini seolah menggiring sebuah sikap berkesenian yang manja dan menyederhanakan proses kreatif penciptaan seni hanya pada ketersediaan dana. Anehnya, begitu dana tersedia demikian layak bahkan lebih dari layak, seniman malah masuk kembali dalam belenggu pragmatisme, memosisikan diri sebagai sekedar aktivisme, bahkan kemudian ikut ‘menyederhanakan’ ke(seni)an dalam kamuflase-kamuflase. Dan ketika perahu kesenian telah merapat dekat dengan pelabuhan negara, maka pada saat yang bersamaan, sebuah proses intervensi sedang bekerja di balik layar. Ketika proses intervensi ini kemudian diam-diam menemukan signal yang kuat, seniman lagi-lagi akan masuk ke dalam belenggu-belenggu baru pula.

Dapatkah seniman keluar dari belenggu-belenggu ini? Hemat saya, jawabannya adalah “pemberontakan.” Meski saya cukup kuatir menyebut kata ‘pemberontakan’ ini, sebab ia telah demikian negatif dalam minda kita, karena ia memang pernah dikambing-hitamkan oleh dunia politik sebagai yang subversif, sebagai “penjahat’. Padahal, dunia seniman, dunia kreativitas, rasa-rasanya tak mungkin untuk dipisahkan dengan kata pemberontakan. Sebab setiap karya yang lahir adalah hasil dari proses pemberontakan seniman terhadap realitas, terhadap ‘kemapanan’, terhadap tatanan status quo yang dianggap usang. Bukankah sebuah hipotesis pernah bilang bahwa “kreativitas dan pemberontakan tidak lain adalah gerak alam raya itu sendiri, keduanya adalah esensi dari kehidupan.”

Dan entah apa jadinya, kalau sikap dan tindak pemberontakan tak ada dalam diri mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman. Mungkin saja kita hanya akan menyaksikan ke(seni)an kita terus menerus berada dalam belenggu jiwa-jiwa konvensional, dalam belenggu elitisme budaya. Maka izinkanlah saya, untuk menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf penting lainnya dari esai Putu Wijaya, “seniman yang malas, yang tidak kreatif, mungkin benar akan menjadi mati rasa dalam pembebasannya. Ia menjadi mandul. Tetapi seniman yang kreatif tidak akan mau masuk lubang kubur macam itu, bahkan ketika ia mati pun, karya-karyanya masih bersuara lantang. Ia akan senantiasa berjuang. Karena kesenian adalah perjuangan, bukan kesenangan.”***

1 komentar:

Dolan mengatakan...

Salam hormat