Kamis, 15 November 2007

Catatan Sastra Riau 2005

Oleh Marhalim Zaini

Membuat sebuah catatan, memang mengandung sejumlah resiko. Resiko yang paling besar biasanya datang dari ‘hasil catatan’ itu sendiri yang kurang komprehensif, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pembaca. Namun, sebuah catatan bisa jadi hanya dianggap sebagai hasil dari sebentuk ‘pembacaan lepas’ dari seseorang yang secara kebetulan memiliki perhatian khusus terhadap bidang tertentu. Meski demikian, sesungguhnya sebuah catatan (seringan apapun), acapkali dibutuhkan sebagai bahan untuk menengok, lalu mengkomparasikan, dan kemudian melakukan ‘timbangan-timbangan’ untuk menakar kadar ‘bobot’ yang ada dalam obyek tersebut.

Catatan yang akan saya paparkan berikut ini, bisa jadi hanya sebentuk catatan ringan tentang perjalanan dan (mungkin) perkembangan sastra (di) Riau selama tahun 2005. Hal tersulit, sebelum saya memutuskan untuk membuat catatan ini adalah, ketika hendak duduk sebagai seorang pembaca yang obyektif, lantas memaparkan sejumlah argumentasi, dan melakukan penilaian-penilaian. Kesulitannya, karena posisi saya yang juga sebagai seorang kreator (penulis/pengarang), yang terkadang (dikuatirkan) akan ‘bias’ pembacaannya dengan ‘selera’ karya-karya sendiri.

Memang di Indonesia kita punya kritikus sastra handal yang juga sekaligus seorang penulis seperti Budi Darma atau Sapardi Djoko Damono. Tapi, seorang otodidak macam saya tentu saja belum berani duduk dalam kapasitas itu. Sapardi, jelas seorang Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Budi Darma adalah Guru Besar di FPBS Universitas Negeri Surabaya. Mestinya memang, ada banyak akademisi (sarjana) sastra Riau—yang lahir dari bangku-bangku perkuliahan sastra di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi di Riau—yang dengan intens melakukan pembacaan-pembacaan terhadap karya sastra penulis Riau. Mungkin lebih aman juga kalau mau mengambil posisi macam kritikus Maman S Mahayana, Faruk HT, Ignas Kleden, Nirwan Dewanto, Melani Budianta, Riris K Toha Sarumpaet, dan banyak nama lain. Maka dengan pertimbangan semacam itu, saya hanya membuat sebuah catatan kuantitatif (dengan sejumlah data), dan tidak melakukan catatan kualitatif (yang menakar tentang capaian-capaian), tapi di samping itu izinkanlah saya menyampaikan apresiasi-apresiasi.

Produktivitas dan Prestasi Sastra

Hary B Koriun dalam catatan kebudayaannya di media ini (Ahad, 8 Januari 2006), telah pun melakukan pencatatan sejumlah perkembangan dan peristiwa sastra tahun 2005. Di antaranya, di dunia penerbitan buku sastra, menurut Hary, “terlihat mengalami progres yang baik dan mendapat tempat bukan hanya di Riau tapi juga di tingkat nasional.” Untuk sebuah optimisme, kita patut mendukungnya. Meski menurut hemat saya, buku-buku sastra yang terbit tahun 2005 itu (seperti yang telah disebut dalam catatan Hary, dan rasanya tak perlu saya sebutkan kembali), masih lahir dari para penulis Riau yang telah cukup lama bergelut di dunia kepenulisan (seperti Hasan Junus, Taufik Ikram Jamil, dan Fakhrunnas MA Jabbar), sehingga memang telah sejak lama pula ‘mendapat tempat’ di tingkat yang lebih luas. Sementara buku-buku dari penulis lain, hanya buku Nyanyian Batanghari karya Hary B Koriun dan novel Gadis Kunang-kunang karya Olyrinson (yang luput disebut Hary), yang tampaknya cukup terdistribusi dengan baik.

Dari angka penerbitan buku sastra yang tak seberapa itu, apakah kemudian bisa memperlihatkan perkembangan sastra di daerah ini? Saya justru dapat melihat perkembangan sastra kita dari buku-buku kumpulan karya pilihan Riau Pos yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang setiap tahunnya. Tradisi penerbitan buku kumpulan karya ini secara tidak langsung memperlihatkan produktivitas para penulis di daerah ini. Meski memang terlampau sempit untuk menakar produktivitas sastra hanya dari sebuah ruang budaya di Harian Riau Pos yang terbit tiap hari minggu itu, namun paling tidak, ada yang dapat kita catat dari hasil pergulatan sastra selama satu tahun. Tengoklah dari tahun ke tahun, buku kumpulan karya pilihan Riau Pos itu, selalu memberi warna dalam konstelasi sastra (di) Riau. Meski sisi kelemahannya adalah, tidak adanya ulasan-ulasan (atau kritik sastra yang representatif) yang mengiringi terbitnya buku tersebut (seperti halnya Penerbit Kompas dengan buku Cerpen Pilihan Kompas-nya). Ini satu hal teramat penting, yang mungkin tak sempat jadi perhatian kita bersama.

Harus kita akui, selain buku, media sastra seperti koran dan majalah adalah lahan subur tumbuh-kembangnya sastra modern Indonesia. Dan sejak tahun 1993, saat Sapardi membuat catatan sastra-nya (Republika, 24 Desember 1993), sampai kini di akhir tahun 2005, media massa cetak yang merupakan bagian sangat penting dari kebudayaan populer kita, masih menjadi media yang efektif untuk mempublikasikan sekaligus mensosialisasikan sastra ke ruang baca publik yang lebih luas. Hampir semua penulis-penulis besar di Indonesia (bahkan di dunia), dalam proses kepenulisannya, mengirimkan karya-karya ke media massa.

Tapi, marilah kita lihat sejumlah catatan tentang pemuatan karya-karya penulis Riau di media massa yang sempat saya catat selama tahun 2005 ini.

Di sejumlah media lokal semacam Riau Pos, Riau Mandiri, Riau Tribune, Majalah Sagang, Majalah Seni Berdaulat, dan luar Riau semacam Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung) dan Sumut Pos, nama-nama penulis seperti Pandapotan MT Siallagan, Sobirin Zaini, M. Badri, dan Marhalim Zaini, menduduki ‘peringkat’ teratas untuk 10 sampai 15 kali pemuatan. Sementara untuk ‘peringkat’ di bawahnya (antara 3 sampai 5 kali pemuatan) di media lokal Riau, dapat dicatat nama-nama penulis berikut (tanpa spesifikasi usia): Musa Ismail, Fitrimayani, Fakhrunnas MA Jabbar, Armansyah, Edy Ahmad RM, Dedi Yusri, Hary B Koriun, Olyrinson, Syaiful Bahri, Hang Kafrawi, Elly Zan Katan, Binoto H Balian, TM Yusuf, dan Jefri Al Malay.

Kemudian untuk sekali-dua karya-karya penulis Riau yang muncul di media selama tahun 2005 adalah: Nyoto, Eka PN, Aliela, Adinda Hafizah, Fedli Aziz, Roza Muliati, Akmal Famajra, Nandik Suparyono, Bubun Bunyamin, Ramon Damora, Saidul Tombang, Murparsaulian, Jon Lis Effendi, Gde Agung Lontar, Suhendri, Sahrul Tombang, Fariz Ihsan Putra, Sei Gergaji, Dien Zhurindah, Alang Rizal, Yoesrizal Zen, Evi Erlinda, Muhalib, Abel Tasman, Rosman, Budi Utamy, dan Asrizal Nur.

Sementara untuk media nasional, penulis-penulis Riau yang tampak masih rajin adalah Marhalim Zaini (Media Indonesia (2 kali), Majalah Sastra Horison (2 kali), Koran Tempo (2 kali), Kompas, dan Jawa Pos), kemudian Fakhrunnas MA Jabbar (Media Indonesia dan Kompas), dan Taufik Ikram Jamil (Republika dan Jurnal Cerpen).

Dari sejumlah penulis di atas, ada muncul seorang penulis berusia remaja dan masih duduk di bangku SMAN Plus Riau, bernama Fariz Ihsan Putra. Cerpen-cerpennya juga sempat terhimpun dalam buku Seikat Dongeng Tentang Wanita dan Satu Abad Cerpen Riau. Hemat saya, potensi dan bakat besar yang tampak dalam karya-karyanya, cukup memberi harapan baru dalam regenerasi sastra Riau. Selain itu, hal yang cukup menarik adalah munculnya para penerjemah sastra. Semisal Murparsaulian, Roza Muliati, Gde Agung Lontar, Zuarman Ahmad, Evi Erlinda, dan Armansyah. Di antara nama-nama tersebut, Armansyah cukup produktif melakukan upaya penerjemahan karya sastra Timur Tengah. Paling tidak, kita bisa berkata, inilah para penerjemah penerus Hasan Junus.

Selama tahun 2005 pula, dapat dicatat sejumlah prestasi yang telah diraih oleh sejumlah penulis Riau. Seperti Olyrinson yang meraih juara II Sayembara Menulis Novel Forum Lingkar Pena, Juara III Mengarang Cerpen Krakatau Award Dewan Kesenian Lampung, lalu juara harapan Menulis Cerpen Dewan Kesenian Riau, juara harapan Menulis Cerbung Femina, dan nominator cerpen CWI 2005. Selain Oly, ada Abel Tasman yang meraih juara harapan I dalam Lomba Mengulas Karya Sastra yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan penerima Anugerah Seni Tradisi dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau. Kemudian Hary B Koriun yang meraih Anugerah Ganti untuk novelnya Nyanyi Sunyi dari Indragiri, lalu novel remajanya berjudul Jejak Hujan masuk 10 besar Sayembara Menulis Novel Remaja yang diselenggarakan oleh Grasindo dan Radio Nedherland Suara Indonesia. Selain itu, Marhalim Zaini raih Pemenang Penghargaan I dalam Sayembara Novel Dar Mizan 2005, Juara II untuk Puisi dan Cerpen (tingkat Nasional) dalam Laman Cipta Sastra DKR, dan naskah skenarionya berjudul ‘Dongeng Negeri Siti’ masuk dalam 10 Naskah Pilihan Sayembara Menulis Skenario Film Cerita yang diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Dirjen. Perfilman Nasional, dan terakhir Marhalim juga diundang dalam Bintan Art Festival di Tanjung Pinang, dan sebuah iven sastra Internasional yang ditaja oleh Komunitas Utan Kayu bertajuk International Literary Biennale 2005 yang digelar di Bandung, Lampung, dan Jakarta.

Selain sejumlah prestasi di atas, boleh jadi juga masih ada sejumlah penulis Riau yang meraih penghargaan sastra, namun tak tertangkap dalam ‘radar’ pembacaan saya. Dan dari paparan produktivitas yang diperkuat dengan sejumlah prestasi, barangkali tak terlampau sulit untuk kemudian membuat semacam pemetaan sastra di Riau.

Wacana dan Peristiwa Sastra

Seorang pengamat sastra lulusan sebuah universitas di Leiden, Sudarmoko, pernah menulis di media ini berjudul “Komunitas dan Perkembangan Sastra Kita.” Ia mencermati fenomena munculnya beragam komunitas sastra di daerah-daerah, yang kemudian cukup memberi kontribusi dalam khazanah sastra, baik dalam pemikiran maupun terlahirnya para penulis-penulis baru. Namun, saya kira, tidak untuk Riau. Sepanjang tahun 2005, komunitas sastra boleh dikata tidak muncul, kecuali Senapelan Writer Assosation (sehabis menerbitkan buku kumpulan sajak Belantara Kata, kini tampak diam) dan Majelis Jumat (sebuah komunitas lepas dan sebuah forum diskusi sastra bulanan).

Majelis Jumat yang digerakkan Marhalim Zaini dan dinaungi Yayasan Pusaka Riau, mungkin bukanlah sebuah wadah ideal untuk melahirkan wacana-wacana besar dan penulis-penulis baru. Namun, sebagai sebuah gerakan budaya, saya kira, ia patut dicatat.

Tema-tema yang diangkat dalam Majelis Jumat selama setahun (terhitung September 2004 s/d September 2005) adalah Apa Kabar Sastra Riau (pembicara Sy Bahri Judin), Proses Kreatif Pengkarya (pembicara Goenawan Mohamad dan Chaidir), Bedah Buku ‘Langgam Negeri Puisi’ karya Marhalim Zaini (Pembicara Maman S Mahayana), Strategi Sastra Riau (pembicara Taufik Ikram Jamil), Satu Abad Sastra Riau (pembicara Fakhrunnas MA Jabbar dan Sutrianto), Sastra dan Media Massa (pembicara Hary B Koriun dan Fitrimayani), Bedah Novel ‘Jalan Menurun’ karya Olyrinson (pembicara Abel Tasman), Fenomena Sastra Perempuan (Pembicara Essy Syam), dan Membaca Sastra Remaja (pembicara Hang Kafrawi). Setelah tema terakhir ini, Majelis Jumat kemudian membentuk Rumah Sastra Siswa (RSS), yang sampai kini tetap aktif mengadakan diskusi karya dengan sejumlah siswa di Pekanbaru.

Di antara tema-tema di atas, yang kemudian mencuat dan sempat menjadi polemik di Riau Pos adalah tema “Sastra dan Media Massa” yang dilemparkan oleh Hary B Koriun, dan kemudian ditanggapi oleh Marhalim Zaini, Pandapotan MT Siallagan, dan M. Badri. Sebagian polemik termaktub dalam buku Tafsir Luka (Yayasan Sagang, 2005). Wacana lain yang cukup mencuat adalah “Satu Abad Cerpen Riau” dan “Fenomena Sastra Perempuan.” Untuk tema terakhir, Adinda Hafizah merespon dengan tulisannya berjudul “Perempuan Pengarang di Riau Hanya Sebagai Penonton?, yang kemudian ditanggapi oleh Marhalim Zaini dengan “Bukan Memperbincangkan Kelamin Sastra.” Dan terakhir polemik ringan juga terjadi antara Marhalim Zaini dan Sudarmoko tentang wacana “Pembaca-yang-tak-bersih.”

Di akhir tahun 2005, sebuah peristiwa sastra ‘nasional’ yang mengusung wacana lokalitas juga digelar di kota Bertuah ini. Sebagaimana yang juga telah dipaparkan oleh Hary dalam catatannya, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) yang dihadiri oleh para pembicara dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia ini, rupanya cukup memberi kontribusi yang signifikan bagi menengok arah perkembangan sastra (terkhusus cerpen) di Riau. Wacana lokalitas dalam cerpen-cerpen penulis Riau-lah sesungguhnya yang memberi laluan bagi sebuah wacana besar yang selama ini didengung-dengungkan, yakni Mazhab Riau. Hemat saya, kehadiran para kritikus sastra macam Budi Darma, Melani Budianta, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, Abdul Hadi WM, Agus R Sarjono, Ahmadun Y Herfanda dan juga para penulis handal macam Ahmad Tohari, Joni Ariadinata, Gus TF Sakai, dan lain sebagainya, cukup menjadi sebuah legitimasi kreatif, bahwa di negeri ‘gerah’ ini juga masih terhimpun para penulis-penulis yang dengan gigih memeperjuangkan ‘ideologi sastra’-nya yang kelak dapat mengisi ruang-ruang kebudayaan Nusantara.

Ada baiknya di tahun ini, wacana-wacana sastra juga berkembang dalam komunitas-komunitas sastra di Riau. Tumbuhnya wacana-wacana ini sesungguhnya dapat memperkuat eksistensi sastra di wilayah publik. Sehingga sastra tidak hanya berdiri di menara gading, akan tetapi melakukan upaya pembangunan jaringan sastra di tingkat yang paling bawah. Tertangkap-basahnya para plagiat di tahun 2005, juga mengindikasikan counter masyarakat pembaca kita sudah mulai meningkat. Artinya, diam-diam sudah ‘ada yang jalan’ dalam lorong-lorong sunyi kebudayaan kita, meski sangat-sangat perlahan.

Ulasan Sastra

Tak dapat dipungkiri, bahwa sesungguhnya kita sedang sangat merindukan hadirnya para ‘pengulas sastra’ (baca: kritikus sastra) dalam konstelasi sastra di Riau. Betapapun pahitnya sebuah kritik, hasil dari sebuah pembacaan kritis justru membuat karya-karya yang dihasilkan tak kehilangan ‘pegangan.’ Karya-karya tersebut kemudian dapat hadir dengan wajahnya yang cemerlang dan penuh ‘ketakterdugaan.’ Kita tentu tak menafikan bahwa memang ada sejumlah pengulas sastra kita yang mumpuni, namun barangkali untuk tahun 2005, kita belum membaca hasil ulasan mereka.

Tapi baiklah, sejumlah ulasan sebenarnya dapat kita temui justru lebih banyak dari para pengulas dari luar Riau. Maman S Mahayana misalnya, terakhir mengulas karya puisi Asrizal Nur dalam kata pengantarnya untuk buku antologi puisi berjudul Perlawanan Orang Kotak Debu (Riau Pos, 23 Oktober 2005). Sebelumnya, Maman juga mengulas puisi Marhalim Zaini yang tergabung dalam antologi Langgam Negeri Puisi, yang kemudian dikirim dalam berbagai versi ke tiga media berbeda (Riau Pos, Republika, dan Majalah Horison). Seorang pengulas sastra dari Lampung Oyos Saroso HN juga melakukan pembacaan terhadap puisi Marhalim Zaini dalam tulisannya berjudul “Puisi Indonesia dan Teosentris-Antroposentris Terbelah” (Media Indonesia, 12 Juni 2005). Lalu dapat juga kita baca ulasan dari Wannofri Samry terhadap novel Hary B Koriun berjudul Nyanyian Batanghari (Riau Pos, 9 Oktober 2005). Selain itu, dari penulis Riau kita temukan sejumlah ulasan sastra, seperti Fakhrunnas MA Jabbar yang mengulas karya-karya Idrus Tintin (Riau Pos, 7 Agustus 2005), atau Rosman H yang mengulas cerpen Hang Kafrawi (Majalah Seni Berdaulat, XIII, 2005), atau Griven H Putra yang mendedahkan buku Republik Jangkrik karya Abel Tasman (Majalah Seni Berdaulat, XIV, 2005).

***

Saya kira, di tahun-tahun mendatang, hal yang perlu dilakukan adalah mengisi kekosongan-kekosongan yang masih demikian tampak dalam peta sastra kita. Produktivitas barangkali bukanlah menjadi soal yang krusial jika targetnya hanya semata absensi ‘kehadiran’ dan tidak melakukan upaya penggalian esetetika. Namun, produktivitas kadangkala bisa menjadi tonggak awal bagi proses berikutnya, terutama untuk menengok ‘jarak tempuh’ perjalanan kreatif seorang penulis. Di samping itu, ada baiknya mengatur sejumlah strategi, dengan membangun jaringan publikasi terluas, membangun komunitas-komunitas dan menelurkan wacana-wacana sastra, serta dengan perlahan-lahan membangun tradisi baru sastra Riau yang lebih kondusif, kreatif-inovatif. Tabik, sastra Riau!***

2 komentar:

Fire H mengatakan...

secara tidak langsung JSR mengatakan seniman tidak perlu ikut partai politik. Tapi mengapa JSR ditunggangi partai politik berwarna kuning? berarti JSR pembohong yang hanya ingin mendapt uang. seprti halnya ustad-ustad yang masuk ke dalam partai politik.

Fire H mengatakan...

JSR yang terhormat seharusnya kalian bercermin terlebih dahulu sebelum mengatakan seniman tak perlu ikut partai politik. kalian harus benar-benar berjuang dalam seni. bukannya pura-pura berjuang untuk seni.kalian ular!!!!!."seniman harus bisa berdiri sendiri tanpa bantuan partai politik" tapi apa yang kalian katakan tidak sesuai dengan tindakan kalian.kalian malah ditunggangi partai politik bewarana kuning.