Puisi yang Santun
(Catatan dari Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka)
Oleh Marhalim Zaini
“Memanglah benar bahawa penyair Melayu tidak harus melompat begitu saja ke pentas teknik puisi dunia, tapi, dalam waktu yang sama, penyair kita tidak juga boleh membiarkan diri tertinggal naif dalam acuan genggaman atau sinar kegemilangan lama.”
Ini kutipan kertas kerja A Samad Said, seorang pengarang asal Melaka yang bergelar Sasterawan Negara, penerima SEA Write Award tahun 1979. Dari rambut, juga janggutnya yang merimbun terjurai memutih, tak dapat diduga bahwa dari mulutnya akan keluar kalimat semacam ini. Terutama dalam konteks bagaimana ‘kegemilangan masa silam’ negeri kelahirannya itu telah demikian membuat para pelaku, juga pewarisnya kini, terkhusus para penyairnya, menjadi seperti terus-menerus ingin hidup dan berada dalam genggamannya. Tradisi, seolah hadir secara rutin dalam setiap gerak-nafas kebudayaan mereka, menjelma jadi sesuatu yang tak boleh tidak harus ‘dirayakan’ sebagai simbol kebanggaan dalam karya-karya mereka, dalam puisi-puisi mereka. Saya kira, orang tua macam A Samad Said, tiba-tiba menjadi amat langka. Tersebab, ia justru melompat keluar menuju pentas dunia yang lebih luas. Khazanah tradisi bukan sekedar membangkitkan romantisme, tapi juga energi, spirit, untuk kembali menemukan eksistensi, juga identitas diri lewat karya tulis. Kesibukan mengurusi ‘pertelagahan’ antara tradisi dan modernisme sebagai dua entitas yang kerap dipandang bertentangan, agaknya hanya sebagai instrument untuk dapat menelisik betapa tak dapat lepasnya kebudayaan kita dari tarik-ulur historitasnya sendiri, di samping tak pula mampu mengelak dari serangan globalisasi. Ini melelahkan, bukan?
Tapi, kita memang belum selesai. Jadi mau tak mau ya harus kembali masuk ke dalam wilayah pertelagahan semacam itu. Tema “Puisi Nasional: Tradisi Menunjang Pemodenan Bangsa’ yang dibentang dalam iven Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka, anjuran Kerajaan Negeri Melaka dan Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) juga sejumlah institusi lain, hemat saya lebih memperlihatkan bangkitnya sebuah kesadaran tentang betapa puisi sebagai salah satu simbol kebudayaan yang paling ekspresif, telah mengalami ‘krisis’ dalam tubuh permaknaannya sendiri. Tersebab ia telah kian tak terelakkan untuk bersinggungan dengan berbagai style bahasa, dari berbagai sumber sosio-cultural, terutama yang datang dari Barat. Dirasa sangat urgen agaknya, bagi Malaysia, yang selama ini hendak bersikukuh dengan identitas ke-melayuannya, pun ke-islamannya, ketika tubuh ‘puisi nasional’ mereka mulai gamang membaca diri. Barangkali saja kita boleh bersepakat dengan Nor Faridah Abdul Manaf (2003) ketika dia melakukan pembacaan atas “Krisis Identitas Puisi-puisi Malaysia Berbahasa Inggris”, bahwa kata ‘krisis’ yang saya sebut di atas dimaknai saja dalam konotasi positif. “Kata tersebut dipakai untuk menggambarkan kesadaran para penyair tentang keterputusan mereka dengan masa lalu dan kini muncul keinginan kuat untuk menyusun ulang sejarah mereka melalui pengucapan mereka sendiri.”
Namun, kita ikut kuatir jika ‘krisis’ lebih dimaknai sebagai gangguan yang harus ditakuti, dan lalu ‘membunuh’ polemik, menjauhi segala yang berbau modernisme. Maka, apa yang kemudian lahir dari sana adalah sebuah ‘kemapanan’, sebab ia telah berhenti menggali diri, dan lantas berhenti pula menjadi ‘puisi’. Paham tradisional kita, pada saat-saat serupa itu, membeku dalam tatanan baku. Pantun, berhenti jadi pantun yang menguarkan cahaya tafsir makna dan nasehat mulia, jika ia tak mampu hidup dan memancarkan cahayanya ke berbagai ruang, termasuk ruang global. Syair, tak mampu mengalir dalam urat darah kehidupan orang masa kini jika ia tetap egois dengan dirinya sendiri. Begitu pula gurindam, yang selalu mengikat diri dalam bingkai nasehat religius dengan verbalisme bahasa dan tak menghadirkan ruang lain untuk sebuah tafsir yang lebih universal, maka ia akan kian menjarak dalam ruang sunyi.
Puisi modern, dalam konteks ini, adalah sebuah ruang alternatif itu. Ruang ekspresi bahasa yang dapat mewakili secara lebih personal dan khas, sebab ia dapat mewartakan kegelisahan-kegelisahan spiritual maupun intelektual seseorang. Baik bentuk maupun isi, ia mengandung paham terbuka terhadap berbagai tafsir. Maka tugasnya menjadi lebih spesifik jika kemudian karakter bahasanya dapat dibangun dan digali dari karakter kultural yang tersembunyi dalam genre macam pantun, syair, gurindam, dan yang lain. Di sinilah, proses kreatif bekerja dalam wilayahnya yang merdeka. Artinya, pantun kelak akan menemukan ‘rumah’ barunya dalam bahasa ucap dan bahasa makna kekinian, yang lebih mewakili semangat zaman. Begitu pula, bentuk sastra klasik lainnya.
Namun, kalau kita hendak menyandingkan puisi-puisi karya penyair Malaysia dengan puisi-puisi karya penyair Indonesia, maka akan sangat tampak kecenderungan yang berbeda. Puisi-puisi penyair Malaysia, seperti dapat dibaca dalam antologi puisi setebal 909 halaman yang memuat lebih 1000 sajak, bertajuk Ratib Seribu Syair, lebih terasa santun, dengan tema-tema alam dan kemerdakaan. Unsur-unsur sastra klasik justru terasa lebih banyak menjelma dalam wajahnya yang tak jauh berubah. Puisi-puisi Malaysia, hemat saya, adalah puisi-puisi yang ‘menghindar’ dari ombak pergolakan eksistensial, dan merapat ke muara ‘makna’ yang tenang. Sementara, puisi-puisi Indonesia memiliki kecenderungan sebaliknya. Dan saya kira, di sinilah kebenarannya, bahwa puisi adalah cermin realitas sosial penyairnya. Indonesia yang kerap diterpa pergolakan sosio-kultural dalam fase-fase zaman yang bergerak ‘keras’ serta merta akan membawa sang penyairnya untuk mau tidak mau masuk ke dalamnya. Maka yang lahir kemudian adalah sajak-sajak yang ‘liar’ dengan pembongkaran estetika yang terasa ekstrem.
Dan demikianlah halnya wacana yang berkembang dalam sejumlah sesi seminar dalam iven Hari Puisi Nasional. Para pembicara sesi awal macam Tenas Effendy dan Zainal Kling, tampak lebih mempertegas kembali tafsir atas nilai-nilai murni budaya bangsa yang terkandung dalam sastra klasik, sekaligus ikut menggesa lahirnya puisi modern yang ikut mengekalkan jatidiri bangsa. Pada sesi berikutnya A Samad Said dan Rahman Shaari, lebih bertutur tentang teks puisi. Mulai dari proses kreatif penciptaanya yang melibatkan berbagai instrument sosial di belakangnya, sampai pada bagaimana menghadapi sebuah puisi sebagai medan permaknaan. Lalu sesi terakhir, yang jadi pembicara Rida K Liamsi, Aminah, dan saya sendiri yang tiba-tiba diminta oleh Abdul Latiff Abu Bakar untuk ikut bercerita tentang proses kreatif penggarapan Opera Melayu Tun Teja. Jadi agak melenceng nampaknya. Tapi, intinya justru pada upaya pembongkaran teks lama, untuk mencipatkan teks baru, dengan tentu saja tafsir yang baru pula.
Meski agaknya, saya berbicara di ruang yang tak tepat, sehingga kemudian tak berbenih perdebatan yang lebih produktif tentang wacana yang saya lemparkan. Anak-anak muda yang hadir dalam ruang itu, adalah anak-anak muda yang belum (atau mungkin tak boleh) mengutarakan kehendak dan kreativitasnya secara lebih artikulatif. Mereka lebih memilih membisu, dengan sesekali tersenyum pahit mendengarkan petuah romantisme dari para penulis tua (usia). Saya kira, harus ada satu ruang lain, ruang alternatif, yang mengakomodir berbagai kemungkinan pemikiran tentang dunia puisi Melayu kita, berbagai ‘perlawanan’ esetetika, berbagai semangat untuk meneriakkan suara-suara dari kesadaran baru tentang dunia tradisional kita juga tentang modernisme. Sebab saya sangat yakin, bahwa sungai yang tenang jangan disangka tak ada arus di kedalamannya. Nyatanya, setelah saya turun dari podium seminar, sejumlah anak muda, menyalami saya dengan tatapan mata yang menyimpan geram, menguarkan semangat yang terpendam. Dan, saya kira, saya juga sedang merasakan salam dari mareka yang bergelora ketika kami (Rida K Liamsi, Murparsaulian, Kazzaini KS, Zuarman Ahmad, dan Marhalim Zaini) turun dari panggung sehabis membaca sajak-sajak bernuansa laut, karya Rida K Liamsi. Sebab agaknya, laut sunyi dalam diri anak-anak muda itu mulai berombak oleh hembusan angin sajak-sajak Rida yang penuh gelora, berhayun-hayun dari tepi ke tepi, mengibas pasir-pasir yang diam, sambil membisikkan ‘birahi’ zaman yang memuncak naik.
Namun, satu hal yang patut dicatat, bahwa mereka, para penulis Malaysia itu, harus berbangga diri, sebab eksistensi mereka diakui. Pengakuan dalam konteks yang tentu saja lebih luas. Posisi Sasterawan Negara, macam A Samad Said dan sejumlah nama lain, adalah posisi puncak yang ‘terhormat.’ Negara sebagai pemegang otoritas kebijakan, tentu saja menjadi strategis dalam hal memberi laluan yang luas terhadap perkembangan proses kreatif kepenulisan para sastrawannya. Negara turut memikirkan soal ekonomi, soal biaya hidup, soal beli tinta print, soal beli kertas, soal terbitkan buku, soal bayar royalti, soal-soal lain yang kiranya mendukung kerja kepenulisan. Mereka, tetangga kita itu, berapi-api berbicara tentang tradisi, tapi sekaligus menghargai tradisi itu sendiri, dengan berbagai perhatian penuh terhadap pekerjanya, terhadap segala sesuatu yang terkait padanya. Tapi kita, memang juga berapi-api berbicara tentang tradisi, tentang seni, tentang kebudayaan, akan tetapi sekejap padamlah. Jangankan berharap akan diperhatikan asap dapur para pekerjanya dan kebutuhan kreatifitasnya, disapa saja itu sudah beruntung. Meski, janga lupa, bahwa di Riau juga ada gelar berbunyi Seniman Pemangku Negeri, atau yang lebih tinggi Seniman Perdana. Tapi, itu cukuplah dipakai sebagai simbol saja, sebab ia tak berfungsi untuk dapat meningkatkan status sosial si penulis untuk dapat duduk setara dengan Dorce Gamalama misalnya, atau bahkan si Micky AFI sekalipun, yang diundang jadi tamu termormat pada Hari Ulang Tahun negeri Riau tercinta ini. Ironis memang. Tapi, ya apa boleh buat....***
Marhalim Zaini, sastrawan.
Jumat, 07 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Assalamualaikum,
Teman penyairku Sasterawan Saudara Marhalim Zaini,
Pertemuan di Melaka terasa sangat sebentar di kejar masa. 'Amuk Tun Teja' memang akan kukunyah seenaknya. Terima kasih.
Posting Komentar